DISUSUN
OLEH:
KELOMPOK V
KELAS AB EKSTENSI 2011
RAHMAWATI 3113331026
SRI YUNINGSIH S 3111331004
OSWALD R
SITANGGANG 3113331025
SITI RUKMANA
TANJUNG 3111531009
AYU TANIA 3113331003
JURUSAN PENDIDIKAN GEOGRAFI
FAKULTAS ILMU
SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2012
KATA
PENGANTAR
Puji syukur senantiasa kami panjatkan kehadirat
Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang yang telah melimpahkan rahmat dan
karunianya sehingga kami dapat menyelesaikan penulisan makalah yang berjudul
“Karakteristik Air Laut”.
Tersusunnya makalah ini semoga mendatangkan manfaat yang besar untuk pendidikan
pada umumnya dan untuk pendidik pada khususnya. Walaupun pada mulanya
penyusunan makalah kami ini mengalami banyak kesulitan dalam menyatukan
berbagai materi penting untuk disusun agar menjadi sebuah bacaan yang menarik untuk
dibaca, namun akhirnya makalah ini dapat diselesaikan . Tersirat pengharapan
dan terima kasih yang sebesar besarnya kepada semua pihak yang terlibat
langsung maupun tidak langsung dalam penyusunan makalah ini.
Besar harapan agar makalah ini dapat menjadi salah
satu sumber belajar yang baik serta mendatangkan manfaat untuk seluruh pembaca
. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, masih banyak
kekurangan dan kelemahannya. Oleh karena itu, adanya kritik dan masukan dari
berbagai pihak sangat kami butuhkan untuk menyempurnakan makalah ini sangat
dinantikan. Semoga makalah ini dapat mendatangkan manfaat bagi semua.
Medan,
November 2012
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebaran klorofil di laut bervariasi secara geografis
maupun berdasarkan kedalaman perairan. Variasi tersebut diakibatkan oleh
perbedaan intensitas cahaya matahari, dan konsentrasi nutrien yang terdapat di
dalam suatu perairan. Di Laut, sebaran klorofil lebih tinggi konsentrasinya
pada perairan pantai dan pesisir, serta rendah di perairan lepas pantai.
Tingginya sebaran konsentrasi klorofil di perairan pantai dan pesisir
disebabkan karena adanya suplai nutrien dalam jumlah besar melalui run-off dari
daratan, sedangkan rendahnya konsentrasi klorofil-a di perairan lepas pantai
karena tidak adanya suplai nutrien dari daratan secara langsung. Namun pada
daerah-daerah tertentu di perairan lepas pantai dijumpai konsentrasi klorofil
dalam jumlah yang cukup tinggi. Keadaan ini disebabkan oleh tingginya
konsentrasi nutrien yang dihasilkan melalui proses fisik massa air, dimana
massa air dalam mengangkat nutrien dari lapisan dalam ke lapisan permukaan
(Valiela, 1984).
Perairan Indonesia yang dipengaruhi oleh sistem pola
angin muson memiliki pola sirkulasi massa air yang berbeda dan bervariasi
antara musim, disamping itupula juga dipengaruhi oleh massa air Lautan Pasifik
yang melintasi perairan Indonesia menuju Lautan Hindia melalui sistem arus
lintas Indonesia (Arlindo). Sirkulasi massa air perairan Indonesia berbeda
antara musim barat dan musim timur. Dimana pada musim barat, massa air umumnya
mengalir ke arah timur perairan Indonesia, dan sebaliknya ketika musim timur
berkembang dengan sempurna suplai massa air yang berasal dari daerah upwelling
di Laut Arafura dan Laut Banda akan mengalir menunju perairan lndonesia bagian
barat (Wyrtki, 1961). Perbedaan suplai massa air tersebut mengakibatkan
terjadinya perubahan terhadap kondisi perairan yang akhirnya mempengaruhi
tinggi rendahnya produktivitas perairan. Tisch et al. (1992) mengatakan
perubahan kondisi suatu massa air dapat diketahui dengan melihat sifat-sifat
massa air yang meliputi suhu, salinitas, oksigen terlarut, dan kandungan
nutrien.
Dengan melihat akan keberadaan perairan Indonesia
dimana karena adanya perbedaan pola angin yang secara langsung mempengaruhi
pola arus permukaan perairan Indonesia dan perubahan karakteristik massa diduga
dapat mengakibatkan terjadinya perubahan terhadap tingkat produktivitas
perairan. Keadaan ini tergantung pada berbagai hal, seperti bagaimana sebaran
faktor fisik-kimia perairan. Untuk itu perlu dilakukan analisa untuk
mempelajari dan menelaah pengaruh faktor-faktor oseanografi terhadap sebaran
fisik-kimia perairan dan keterkaitannya terhadap tingkat konsentrasi
klorofilnya.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dari makalah ini yaitu :
1.
Apa-apa saja yang
termasuk dalam karakteristik air laut
2.
faktor-faktor
oseanografi yang mempengaruhi produktivitas primer di perairan Indonesia.
3.
Oseanografi Indonesia
4.
Hubungan Atara Faktor Oseanografi Dan Produktivitas Primer Perairan
Indonesia
C. Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk
mempelajari dan menganalisa faktor-faktor oseanografi yang mempengaruhi
produktivitas primer di perairan Indonesia dan untuk mengetahui karakteristik
dari air laut.
D. Manfaat
Manfaat penulisan adalah sebagai informasi kesuburan
suatu perairan agar upaya pemanfaatan dan pengelolaan dapat dilakukan secara
optimal dan agar kita bisa menganalisis tentang pembahasan dari karakteristik
air laut tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
1.1. Kandungan Fisik Air
Laut
Kandungan
fisik dan kimia air laut merupakan akibat dari struktur atom air. Air merupakan
gabungan dari hydrogen dan oksigen yang berhubungan dengan covalen bond
(covalen bond hubungan antara 2 atom dalam molekul hasil pembagian dari
electron). Covalen bond ada ketika elemen membagi elektronnyake dalam bentuk
campuran.di dalam air, hydrogen dan oksigen berhubungan langsung dengan sudut
105º.
Masing-masing
atom hydrogen dan oksigen memiliki electron yang didistribusikan tidak sama,
dengan cara itulah masing-masing atom hydrogen bermuatan positif dan atom
oksigen bermuatan negative. Air yang bersifat positif dan negative secara
bersama-sama memberikan struktur molekul dipolar. Masing-masing sumbu positif
(atom II) saling tarik menarik dan membentuk hubungan yang lemah, sumbu
negative (atom B) dimolekul lain.
Hubungan
antara hydrogen ke atom oksigen disebut “hydrogen bond”. Karena merupakan
agregasi cairan, jika ada molekul yang lebih banyak yang dapat diindikasikan
dari jumlah H2O, jenis kandungan air terlihat tidak normal ketika dibandingkan
dengan zat non polar seperti methane (cha) atau hydrogen sulfide (H2S), karena
adanya hydrogen bond, air mempunyai titik didih (100º C) lebih tinggi dari yang
diperkirakan.
1.2. Konduktifitas
Konduktifitas
merupakan kapasitas dari air laut untuk memindahan arah aliran elektris dan
bergantung pada konsentrasi ion-ion dan kecepatannya. Muatan atom disebut ion.
Ion-ion yang lebih dalam setiap unit volume air. Teori kimia konduktifitas :
ketika garam (sodium klorida/UaCl) dilarutkan dalam air, ion klorida negative
menarik hydrogen positif dalam molekul air. Dengan cars ill,ion klorida atau
klorit(Cl%) sebagai basis dapat ditentukan dengan rumus : S%=1,8 X Cl%. Salinitas
ditentukan berdasarkan kandungan klorida agak akurat. Salininitas dari air laut
akan ditentukan pula denan arus listrik. Dengan arus listrik kita dapat
mengetahui temperature dan besarnya salinitas.
1.3.
Karakteristik Air Laut
A.
Suhu
Laut
tropik memiliki massa air permukaan hangat yang disebabkan oleh adanya pemanasan
yang terjadi secara terus-menerus sepanjang tahun. Pemanasan tersebut
mengakibatkan terbentuknya stratifikasi di dalam kolom perairan yang disebabkan
oleh adanya gradien suhu. Berdasarkan gradien suhu secara vertikal di dalam
kolom perairan, Wyrtki (1961) membagi perairan menjadi 3 (tiga) lapisan, yaitu:
a) lapisan homogen pada permukaan perairan atau disebut juga lapisan permukaan
tercampur; b) lapisan diskontinuitas atau biasa disebut lapisan termoklin; c)
lapisan di bawah termoklin dengan kondisi yang hampir homogen, dimana suhu
berkurang secara perlahan-lahan ke arah dasar perairan.
Menurut
Lukas and Lindstrom (1991), kedalaman setiap lapisan di dalam kolom perairan
dapat diketahui dengan melihat perubahan gradien suhu dari permukaan sampai
lapisan dalam. Lapisan permukaan tercampur merupakan lapisan dengan gradien
suhu tidak lebih dari 0,03 oC/m (Wyrtki, 1961), sedangkan kedalaman lapisan
termoklin dalam suatu perairan didefinisikan sebagai suatu kedalaman atau
posisi dimana gradien suhu lebih dari 0,1 oC/m (Ross, 1970).
Suhu
permukaan laut tergantung pada beberapa faktor, seperti presipitasi, evaporasi,
kecepatan angin, intensitas cahaya matahari, dan faktor-faktor fisika yang
terjadi di dalam kolom perairan. Presipitasi terjadi di laut melalui curah
hujan yang dapat menurunkan suhu permukaan laut, sedangkan evaporasi dapat
meningkatkan suhu permukaan akibat adanya aliran bahang dari udara ke lapisan
permukaan perairan. Menurut McPhaden and Hayes (1991), evaporasi dapat
meningkatkan suhu kira-kira sebesar 0,1 oC pada lapisan permukaan hingga
kedalaman 10 m dan hanya kira-kira 0,12 oC pada kedalaman 10 – 75 m. Disamping
itu Lukas and Lindstrom (1991) mengatakan bahwa perubahan suhu permukaan laut
sangat tergantung pada termodinamika di lapisan permukaan tercampur. Daya gerak
berupa adveksi vertikal, turbulensi, aliran buoyancy, dan entrainment dapat
mengakibatkan terjadinya perubahan pada lapisan tercampur serta kandungan
bahangnya.
Menurut
McPhaden and Hayes (1991), adveksi vertikal dan entrainment dapat mengakibatkan
perubahan terhadap kandungan bahang dan suhu pada lapisan permukaan. Kedua
faktor tersebut bila dikombinasi dengan faktor angin yang bekerja pada suatu
periode tertentu dapat mengakibatkan terjadinya upwelling. Upwelling
menyebabkan suhu lapisan permukaan tercampur menjadi lebih rendah. Pada umumnya
pergerakan massa air disebabkan oleh angin. Angin yang berhembus dengan kencang
dapat mengakibatkan terjadinya percampuran massa air pada lapisan atas yang
mengakibatkan sebaran suhu menjadi homogen.
Suhu
juga dapat mempengaruhi fotosintesa di laut baik secara langsung maupun tidak
langsung. Pengaruh secara langsung yakni suhu berperan untuk mengontrol reaksi
kimia enzimatik dalam proses fotosintesa. Tinggi suhu dapat menaikkan laju
maksimum fotosintesa (Pmax), sedangkan pengaruh secara tidak langsung yakni
dalam merubah struktur hidrologi kolom perairan yang dapat mempengaruhi
distribusi fitoplankton (Tomascik et al., 1997 b).
Secara umum, laju fotosintesa fitoplankton meningkat dengan meningkatnya suhu perairan, tetapi akan menurun secara drastis setelah mencapai suatu titik suhu tertentu. Hal ini disebabkan karena setiap spesies fitoplankton selalu berdaptasi terhadap suatu kisaran suhu tertentu.
Secara umum, laju fotosintesa fitoplankton meningkat dengan meningkatnya suhu perairan, tetapi akan menurun secara drastis setelah mencapai suatu titik suhu tertentu. Hal ini disebabkan karena setiap spesies fitoplankton selalu berdaptasi terhadap suatu kisaran suhu tertentu.
Temperature
adalah kekayaan yang penting dari air laut. Temperature dari air laut yang
sangat luas di dunia. Temperature dibawah permukaan yang sangat dalam,
sirkulasi udara, turbelensi, lokasi geografis dan jarak dari sumbu pusat panas
adalah vulkanik. Pada umumnya temperature air laut bervariasi mulai dibawah – 5
ºC sampai 33% titik pembekuan dari air asin adalah 1,9ºC.
Lautan
adalah pompa raksasa yang memindahkan panas dari ekuator menuju ke kutub. Panas
dari matahari bergerak dari lintang rendah ke lintang tinggi, dimana hal itu
lepas dari atmosfer. Pemindahan ini adalah efektif dipermukaan air dari lautan
dengan keadaan yang hebat (sebagai contoh aliran gulf ) yang bergerak dari
daerah tropis yang panas ke daerah kutub). Kedalaman air (7500 m) terdapat di
lintang tinggi. Temperature dari lautan jatuh pada 3 zone, yaitu:
1.
Permukaan (campuran)
lapisan dimana pantulan rata-rata temperature pada lintang.
2.
Kedalaman (bawah)
lapisan yang memantul pada sumber air dilintang tinggi
3.
Thermodhine antara
100-1500 m. kedalamannya yang temperatunya berasal dari pengurangan dari
berbagai macam-macam bentuk dari nilai permukaan tinggi sampai nilai kedalaman
rendah.
Thermodine
mengindikasikan pemindahan vertical dari permukaan air ke dalam kedalaman air
maupun perpindahan jalur air horizontal. Meskipun beberapa dari perpindahan ini
terjadi dengan difusi molekul, banyak dilahirkan diselesaikan dengan aliran
pusat air kecil yang membawa air vertical (Pencampuran salinitas maupun
temperature dari garam Cua + dan Cl) terbebas dari lainnya dan membawa hubungan
dengan molekul air. Jika electron positif dan negative terkandung oleh air, ion
sodium positifdan ion klorida negative akan menarik muatan elektroda yang
berlawanan. Selama ion terus bergerak disekitar molekul air menuju elektroda
mereka menghasilkan gerakan elektrik air laut dapat digunakan untuk menentukan
salinitas.
B.
Salinitas Air Laut
Air laut mengandung 3,5% garam-garaman, gas-gas
terlarut, bahan-bahan organik dan partikel-partikel tak terlarut. Keberadaan
garam-garaman mempengaruhi sifat fisis air laut
(seperti: densitas, kompresibilitas, titik beku, dan temperatur dimana densitas
menjadi maksimum) beberapa tingkat. Beberapa sifat (viskositas, daya serap
cahaya) tidak terpengaruh secara signifikan oleh salinitas. Dua sifat yang
sangat ditentukan oleh jumlah garam di laut (salinitas) adalah daya hantar listrik
(konduktivitas) dan tekanan osmosis.

Garam-garaman utama yang terdapat dalam air laut
adalah klorida (55%), natrium (31%), sulfat (8%), magnesium (4%), kalsium
(1%), potasium (1%) dan sisanya (kurang dari 1%) teridiri dari bikarbonat,
bromida, asam borak, strontium dan florida. Tiga sumber utama garam-garaman di laut
adalah pelapukan batuan di darat, gas-gas vulkanik dan sirkulasi lubang-lubang
hidrotermal (hydrothermal vents) di laut dalam.
Secara ideal, salinitas merupakan jumlah dari seluruh garam-garaman
dalam gram pada setiap kilogram air laut. Secara praktis, adalah susah untuk
mengukur salinitas di laut, oleh karena itu penentuan harga salinitas dilakukan
dengan meninjau komponen yang terpenting saja yaitu klorida (Cl). Kandungan
klorida ditetapkan pada tahun 1902 sebagai jumlah dalam gram ion klorida pada
satu kilogram air laut jika semua halogen digantikan oleh klorida. Penetapan ini
mencerminkan proses kimiawi titrasi untuk menentukan kandungan klorida.
Salinitas ditetapkan pada tahun 1902 sebagai jumlah total dalam gram
bahan-bahan terlarut dalam satu kilogram air laut
jika semua karbonat dirubah menjadi oksida, semua bromida dan yodium dirubah
menjadi klorida dan semua bahan-bahan organik dioksidasi. Selanjutnya hubungan
antara salinitas dan klorida ditentukan melalui suatu rangkaian pengukuran
dasar laboratorium berdasarkan pada sampel air laut
di seluruh dunia dan dinyatakan sebagai:
S (o/oo)
= 0.03 +1.805 Cl (o/oo) (1902)
Lambang o/oo
(dibaca per mil) adalah bagian per seribu. Kandungan garam 3,5% sebanding
dengan 35o/oo atau 35 gram garam di dalam satu kilogram
air laut.
Persamaan tahun 1902 di atas akan memberikan harga salinitas sebesar
0,03o/oo jika klorinitas sama dengan nol dan hal ini
sangat menarik perhatian dan menunjukkan adanya masalah dalam sampel air yang
digunakan untuk pengukuran laboratorium. Oleh karena itu, pada tahun 1969
UNESCO memutuskan untuk mengulang kembali penentuan dasar hubungan antara
klorinitas dan salinitas dan memperkenalkan definisi baru yang dikenal sebagai
salinitas absolut dengan rumus:
S (o/oo)
= 1.80655 Cl (o/oo) (1969)
Namun demikian,
dari hasil pengulangan definisi ini ternyata didapatkan hasil yang sama dengan
definisi sebelumnya.
Definisi salinitas ditinjau kembali ketika tekhnik untuk menentukan
salinitas dari pengukuran konduktivitas, temperatur dan tekanan dikembangkan.
Sejak tahun 1978, didefinisikan suatu satuan baru yaitu Practical Salinity
Scale (Skala Salinitas Praktis) dengan simbol S, sebagai rasio dari
konduktivitas.
"Salinitas
praktis dari suatu sampel air laut ditetapkan sebagai rasio dari
konduktivitas listrik (K) sampel air laut pada temperatur 15oC dan
tekanan satu standar atmosfer terhadap larutan kalium klorida (KCl), dimana
bagian massa KCl adalah 0,0324356 pada temperatur dan tekanan yang sama. Rumus
dari definisi ini adalah:
S = 0.0080 -
0.1692 K1/2 + 25.3853 K + 14.0941 K3/2 - 7.0261 K2
+ 2.7081 K5/2
Dari penggunaan definisi baru ini, dimana salinitas dinyatakan
sebagai rasio, maka satuan o/oo tidak lagi berlaku,
nilai 35o/oo berkaitan dengan nilai 35 dalam satuan
praktis. Beberapa oseanografer menggunakan satuan "psu" dalam
menuliskan harga salinitas, yang merupakan singkatan dari "practical
salinity unit". Karena salinitas praktis adalah rasio, maka sebenarnya ia
tidak memiliki satuan, jadi penggunaan satuan "psu" sebenarnya tidak
mengandung makna apapun dan tidak diperlukan. Pada kebanyakan peralatan yang
ada saat ini, pengukuran harga salinitas dilakukan berdasarkan pada hasil pengukuran
konduktivitas.
Salinitas di daerah subpolar (yaitu daerah di atas daerah subtropis
hingga mendekati kutub) rendah di permukaan dan bertambah secara tetap
(monotonik) terhadap kedalaman. Di daerah subtropis (atau semi tropis, yaitu
daerah antara 23,5o - 40oLU atau 23,5o - 40oLS),
salinitas di permukaan lebih besar daripada di kedalaman akibat besarnya
evaporasi (penguapan). Di kedalaman sekitar 500 sampai 1000 meter harga
salinitasnya rendah dan kembali bertambah secara monotonik terhadap kedalaman.
Sementara itu, di daerah tropis salinitas di permukaan lebih rendah daripada di
kedalaman akibatnya tingginya presipitasi (curah hujan).
Salinitas
adalah kandungan garam yang ada dilaut dan biasanya diperhitungkan sebagai
jumlah gram garam terlarut pada 1000 gram air laut. Ahli ocenografi dari
analisis intensif mereka berdasarkan air laut yang tenang dan terbuka dapat
diketahui bahwa setiap 1 kg air laut terdapat 35 gram kandungan garamnya.
Konsentrasi ini umumnya dinyatakan 35 bagian perseribu atau 35%. Salinitas dari
lautan berfatiasi, mulai 33% sampai 38% dengan rata-rata 35 %. Salinitas dari
air laut yang luas tergantung pada perbedaan antar evaporasi dan presipitasi,
panjang dari aliran runoff, pembekuan dan es yang mencair. Dalam area yang
evaporasinya tinggi seperti laut merah salinitasnya mendekati mendekati 40%tapi
didekat muara sungai biasanya hanya 20%. Pada umumnya salinitas yang tersebar berada
pada zone daerah kering.
Sebaran
salinitas di laut dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti pola sirkulasi air,
penguapan, curah hujan dan aliran sungai. Perairan dengan tingkat curah hujan
tinggi dan dipengaruhi oleh aliran sungai memiliki salinitas yang rendah
sedangkan perairan yang memiliki penguapan yang tinggi, salinitas perairannya
tinggi. Selain itu pola sirkulasi juga berperan dalam penyebaran salinitas di
suatu perairan.
Secara
vertikal nilai salinitas air laut akan semakin besar dengan bertambahnya
kedalaman. Di perairan laut lepas, angin sangat menentukan penyebaran salinitas
secara vertikal. Pengadukan di dalam lapisan permukaan memungkinkan salinitas
menjadi homogen. Terjadinya upwelling yang mengangkat massa air bersalinitas
tinggi di lapisan dalam juga mengakibatkan meningkatnya salinitas permukaan
perairan.
Sistem
angin muson yang terjadi di wilayah Indonesia dapat berpengaruh terhadap
sebaran salinitas perairan, baik secara vertikal maupun secara horisontal.
Secara horisontal berhubungan dengan arus yang membawa massa air, sedangkan sebaran
secara vertikal umumnya disebabkan oleh tiupan angin yang mengakibatkan
terjadinya gerakan air secara vertikal.
Menurut
Wyrtki (1961), sistem angin muson menyebabkan terjadinya musim hujan dan panas
yang akhirnya berdampak terhadap variasi tahunan salinitas perairan. Perubahan
musim tersebut selanjutnya mengakibatkan terjadinya perubahan sirkulasi massa
air yang bersalinitas tinggi dengan massa air bersalinitas rendah. Interaksi
antara sistem angin muson dengan faktor-faktor yang lain, seperti run-off dari
sungai, hujan, evaporasi, dan sirkulasi massa air dapat mengakibatkan
distribusi salinitas menjadi sangat bervariasi. Pengaruh sistem angin muson
terhadap sebaran salinitas pada beberapa bagian dari perairan Indonesia telah
dikemukakan oleh Wyrtki (1961). Pada Musim Timur terjadi penaikan massa air
lapisan dalam (upwelling) yang bersalinitas tinggi ke permukaan di Laut Banda
bagian timur dan menpengaruhi sebaran salinitas perairan. Selain itu juga di
pengaruhi oleh arus yang membawa massa air yang bersalinitas tinggi dari Lautan
Pasifik yang masuk melalui Laut Halmahera dan Selat Torres. Di Laut Flores,
salinitas perairan rendah pada Musim Barat sebagai akibat dari pengaruh
masuknya massa air Laut Jawa, sedangkan pada Musim Timur, tingginya salinitas dari
Laut Banda yang masuk ke Laut Flores mengakibatkan meningkatnya salinitas Laut
Flores. Laut Jawa memiliki massa air dengan salinitas rendah yang diakibatkan
oleh adanya run-off dari sungai-sungai besar di P. Sumatra, P. Kalimantan, dan
P. Jawa.
C. Densitas Air
Laut
Densitas
air laut merupakan jumlah massa air laut per satu satuan volume. Distribusi
densitas dalam perairan dapat dilihat melalui stratifikasi densitas secara
vertikal di dalam kolom perairan, dan perbedaan secara horisontal yang
disebabkan oleh arus. Distribusi densitas berhubungan dengan karakter arus dan
daya tenggelam suatu massa air yang berdensitas tinggi pada lapisan permukaan
ke kedalaman tertentu. Densitas air laut tergantung pada suhu dan salinitas
serta semua proses yang mengakibatkan berubahnya suhu dan salinitas. Densitas
permukaan laut berkurang karena ada pemanasan, presipitasi, run off dari
daratan serta meningkat jika terjadi evaporasi dan menurunnya suhu permukaan.
Sebaran densitas secara vertikal ditentukan oleh proses percampuran dan pengangkatan massa air. Penyebab utama dari proses tersebut adalah tiupan angin yang kuat.
Sebaran densitas secara vertikal ditentukan oleh proses percampuran dan pengangkatan massa air. Penyebab utama dari proses tersebut adalah tiupan angin yang kuat.
Lukas and Lindstrom (1991), mengatakan bahwa
pada tingkat kepercayaan 95 % terlihat adanya hubungan yang positif antara
densitas dan suhu dengan kecepatan angin, dimana ada kecenderungan meningkatnya
kedalaman lapisan tercampur akibat tiupan angin yang sangat kuat. Secara umum
densitas meningkat dengan meningkatnya salinitas, tekanan atau kedalaman, dan
menurunnya suhu.
D.Warna
Air Laut
Warna
air laut ditentukan oleh kekeruhan air laut itu sendiri dari kandungan sedimen
yang dibawa oleh aliran sungai. Pada laut yang keruh, radiasi sinar matahari
yang dibutuhkan untuk proses fotosintesis tumbuhan laut akan kurang
dibandingkan dengan air laut jernih. Pada perairan laut yang dalam dan jernih,
fotosintesis tumbuhan itu mencapai 200 meter, sedangkan jika keruh hanya
mencapai 15 – 40 meter. Laut yang jernih merupakan lingkungan yang baik untuk
tumbuhnya terumbu karang dari cangkang binatang koral.
Air laut juga menampakan warna yang berbeda-beda tergantung pada zat-zat organik maupun anorganik yang ada.
Air laut juga menampakan warna yang berbeda-beda tergantung pada zat-zat organik maupun anorganik yang ada.
Ada beberapa
warna-warna air laut karena beberapa sebab:
o Pada
umumnya lautan berwarna biru, hal ini disebabkan oleh sinar matahari yang
bergelombang pendek (sinar biru) dipantulkan lebih banyak dari pada sinar lain
o Warna
kuning, karena di dasarnya terdapat lumpur kuning, misalnya sungai kuning di
Cina.
o Warna
hijau, karena adanya lumpur yang diendapkan dekat pantai yang memantulkan warna
hijau dan juga karena adanya planton-planton dalam jumlah besar.
o Warna
putih, karena permukaannya selalu tertutup es seperti di laut kutub utara dan
selatan.
o Warna
ungu, karena adanya organisme kecil yang mengeluarkan sinar-sinar fosfor
seperti di laut ambon.
o Warna
hitam, karena di dasarnya terdapat lumpur hitam seperti di laut hitam
o Warna
merah, karena banyaknya binatang-binatang kecil berwarna merah yang terapung-apung.
1.4. Faktor Utama
Yang Mempengaruhi Produktivitas Primer Di Laut
A.
Cahaya
Cahaya merupakan salah satu faktor yang menentukan
distribusi klorofil-a di laut. Di laut lepas, pada lapisan permukaan tercampur
tersedia cukup banyak cahaya matahari untuk proses fotosintesa. Sedangkan di
lapisan yang lebih dalam, cahaya matahari tersedia dalam jumlah yang sedikit
bahkan tidak ada sama sekali. Ini memungkinkan klorofil-a lebih banyak terdapat
pada bagian bawah lapisan permukaan tercampur atau pada bagian atas dari
permukaan lapisan termoklin jika dibandingkan dengan bagian pertengahan atau
bawah lapisan termoklin. Hal ini juga dikemukakan oleh Matsuura et al. (1997)
berdasarkan hasil pengamatan di timur laut Lautan Hindia, dimana diperoleh
bahwa sebaran konsentrasi klorofil-a pada bagian atas lapisan permukaan
tercampur sangat sedikit dan mulai meningkat menuju bagian bawah dari lapisan
permukaan tercampur dan menurun secara drastis pada lapisan termoklin hingga
tidak ada klorofil-a lagi pada lapisan di bawah lapisan termoklin.
Fotosintesa fitoplankton menggunakan klorofil-a, c,
dan satu jenis pigmen tambahan seperti protein-fucoxanthin dan peridinin, yang
secara lengkap menggunakan semua cahaya dalam spektrum tampak. Pada panjang
gelombang 400 – 700 nm, cahaya yang diabsorbsi oleh pigmen fitoplankton dapat
dibagi dalam: cahaya dengan panjang gelombang lebih dari 600 nm, terutama
diabsorbsi oleh klorofil dan cahaya dengan panjang gelombang kurang dari 600
nm, terutama diabsorbsi oleh pigmen-pigmen pelengkap/tambahan (Levinton, 1982).
Dengan adanya perbedaan kandungan pigmen pada setiap
jenis plankton, maka jumlah cahaya matahari yang diabsorbsi oleh setiap
plankton akan berbeda pula. Keadaan ini berpengaruh terhadap tingkat efisiensi
fotosintesa. Fujita (1970) dalam Parsons et al. (1984) mengklasifikasi alga
laut berdasarkan efisiensi fotosintesa oleh pigmen kedalam tipe klorofil-a dan
b untuk alga hijau dan euglenoid; tipe klorofil-a, c, dan caratenoid untuk
diatom, dinoflagelata, dan alga coklat; dan tipe klorofil-a dan ficobilin untuk
alga merah dan alga hijau biru.
B.
Nutrien
Nutrien adalah semua unsur dan senjawa yang
dibutuhkan oleh tumbuhan-tumbuhan dan berada dalam bentuk material organik
(misalnya amonia, nitrat) dan anorganik terlarut (asam amino). Elemen-elemen
nutrien utama yang dibutuhkan dalam jumlah besar adalah karbon, nitrogen,
fosfor, oksigen, silikon, magnesium, potassium, dan kalsium, sedangkan nutrien
trace element dibutuhkan dalam konsentrasi sangat kecil, yakni besi, copper,
dam vanadium (Levinton, 1982). Menurut Parsons et al. (1984), alga membutuhkan
elemen nutrien untuk pertumbuhan. Beberapa elemen seperti C, H, O, N, Si, P,
Mg, K, dan Ca dibutuhkan dalam jumlah besar dan disebut makronutrien, sedangkan
elemen-elemen lain dibutuhkan dalam jumlah sangat sedikit dan biasanya disebut
mikronutrien atau trace element.
Sebaran klorofil-a di dalam kolom perairan sangat
tergantung pada konsentrasi nutrien. Konsentrasi nutrien di lapisan permukaan
sangat sedikit dan akan meningkat pada lapisan termoklin dan lapisan di
bawahnya. Hal mana juga dikemukakan oleh Brown et al. (1989), nutrien memiliki
konsentrasi rendah dan berubah-ubah pada permukaan laut dan konsentrasinya akan
meningkat dengan bertambahnya kedalaman serta akan mencapai konsentrsi maksimum
pada kedalaman antara 500 – 1500 m.
C.
Suhu
Suhu dapat mempengaruhi fotosintesa di laut baik
secara langsung maupun tidak langsung. Pengaruh secara langsung yakni suhu
berperan untuk mengontrol reaksi kimia enzimatik dalam proses fotosintesa.
Tinggi suhu dapat menaikkan laju maksimum fotosintesa (Pmax), sedangkan pengaruh
secara tidak langsung yakni dalam merubah struktur hidrologi kolom perairan
yang dapat mempengaruhi distribusi fitoplankton (Tomascik et al., 1997 b).
Secara umum, laju fotosintesa fitoplankton meningkat
dengan meningkatnya suhu perairan, tetapi akan menurun secara drastis setelah
mencapai suatu titik suhu tertentu. Hal ini disebabkan karena setiap spesies
fitoplankton selalu berdaptasi terhadap suatu kisaran suhu tertentu.
1.5. Oseanografi
Indonesia
Perairan Indonesia yang terletak di antara benua
Asia dan Australia berada dalam suatu sistem pola angin yang disebut sistem
angin muson. Angin muson bertiup ke arah tertentu pada suatu periode sedangkan
pada periode lainnya angin bertiup dengan arah yang berlawanan. Terjadinya
angin muson ini karena terjadi perbedaan tekanan udara antara daratan Asia dan
Australia (Wyrtki, 1961). Pada bulan Desember – Pebruari di belahan bumi utara
terjadi musim dingin sedangkan di belahan bumi selatan terjadi musim panas
sehingga pusat tekanan tinggi di daratan Asia dan pusat tekanan rendah di
daratan Australia. Keadaan ini menyebabkan angin berhembus dari daratan Asia
menuju Australia. Angin ini dikenal di sebelah selatan katulistiwa sebagai
angin Muson Barat Laut. Sebaliknya pada bulan Juli – Agustus berhembus angin
Muson Tenggara dari daratan Australia yang bertekanan tinggi ke daratan Asia
yang bertekanan rendah.
Sirkulasi air laut di perairan Indonesia dipengaruhi
oleh sistem angin muson. Oleh karena sistem angin muson ini bertiup secara
tetap, walaupun kecepatan relatif tidak besar, maka akan tercipta suatu kondisi
yang sangat baik untuk terjadinya suatu pola arus. Pada musim barat, pola arus
permukaan perairan Indonesia memperlihatkan arus bergerak dari Laut Cina
Selatan menuju Laut Jawa. Di Laut Jawa, arus kemudian bergerak ke Laut Flores
hingga mencapai Laut Banda. Sedangkan pada saat Muson Tenggara, arah arus
sepenuhnya berbalik arah menuju ke barat yang akhirnya akan menuju ke Laut Cina
Selatan (Wyrtki, 1961).
Perairan Indonesia merupakan perairan di mana
terjadi lintasan arus yang membawa massa air dari Lautan Pasifik ke Lautan
Hindia yang biasanya disebut Arus Lintas Indonesia/Arlindo (Fieux et al.,
1996b). Massa air Pasifik tersebut terdiri atas massa air Pasifik Utara dan
Pasifik Selatan (Tomascik et al., 1997a; Wyrtki, 1961; Ilahude and Gordon,
1996; Molcard et al., 1996; Fieux et al., 1996a). Terjadinya arlindo terutama
disebabkan oleh bertiupnya angin pasat tenggara di bagian selatan Pasifik dari
wilayah Indonesia. Angin tersebut mengakibatkan permukaan bagian tropik Lautan
Pasifik Barat lebih tinggi dari pada Lautan Hindia bagian timur. Hasilnya
terjadinya gradien tekanan yang mengakibatkan mengalirnya arus dari Lautan
Pasifik ke Lautan Hindia. Arus lintas Indonesia selama Muson Tenggara umumnya
lebih kuat dari pada di Muson Barat Laut.
Sumber air yang dibawa oleh Arlindo berasal dari
Lautan Pasifik bagian utara dan selatan. Perairan Selat Makasar dan Laut Flores
lebih banyak dipengaruhi oleh massa air laut Pasifik Utara sedangkan Laut Seram
dan Halmahera lebih banyak dipengaruhi oleh massa air dari Pasifik Selatan.
Gordon et al. (1994) mengatakan bahwa massa air Pasifik masuk kepulauan
Indonesia melalui 2 (dua) jalur utama, yaitu:
1.
Jalur barat dimana
massa air masuk melalui Laut Sulawesi dan Basin Makasar. Sebagian massa air
akan mengalir melalui Selat Lombok dan berakhir di Lautan Hindia sedangkan
sebagian lagi dibelokan ke arah timur terus ke Laut Flores hingga Laut Banda
dan kemudian keluar ke Lautan Hindia melalui Laut Timor.
2.
Jalur timur dimana
massa air masuk melalui Laut Halmahera dan Laut Maluku terus ke Laut Banda.
Dari Laut Banda, menurut Gordon (1986) dan Gordon et al.,(1994) massa air akan
mengalir mengikuti 2 (dua) rute. Rute utara Pulau Timor melalui Selat Ombai,
antara Pulau Alor dan Pulau Timor, masuk ke Laut Sawu dan Selat Rote, sedangkan
rute selatan Pulau Timor melalui Basin Timor dan Selat Timor, antara Pulau Rote
dan paparan benua Australia.
Struktur massa air perairan Indonesia umumnya
dipengaruhi karakteristik massa air Lautan Pasifik dan sistem angin muson.
Dimana pada Musim Barat (Desember – Pebruari) bertiup angin muson barat laut di
bagian selatan katulistiwa dan timur laut di utara katulistiwa, karakteristik
massa air perairan Indonesia umumnya ditandai dengan salinitas yang lebih
rendah, sedangkan pada Musim Tmur (Juni – Agustus) bertiup angin muson tenggara
di selatan katulistiwa dan barat daya di utara katulistiwa, perairan Indonesia
memiliki karakteristik dengan nilai salinitas yang lebih tinggi.
Schalk (1987) mengatakan bahwa pergantian musim
mengakibatkan terjadinya perubahan terhadap kondisi hidrologi perairan.
Dikatakan pula bahwa Musim Timur (Juni – September) menyebabkan terjadinya
upwelling di Laut Banda dan stabilitas vertikal pada kolom perairan menjadi
rendah. Namun pada Musim Barat (Desember – Maret) terjadi downwelling dengan
stabilitas vertikal kolom perairan menjadi tinggi. Selanjutnya dikatakan bahwa
pada bulan Agustus di saat terjadinya upwelling, suhu permukaan perairan
berkisar pada 25 ºC, sedangkan pada bulan Pebruari di saat terjadinya
downwelling, suhu permukaan perairan lebih dari 25 ºC dan umumnya perairan
lebih berstratifikasi di bagian barat Laut Banda.
Suhu permukaan laut perairan Indonesia umumnya
berkisar antara 25 – 30 ºC dan mengalami penurunan satu atau dua derajat dengan
bertambahnya kedalaman hingga 80 db, sedangkan salinitas permukaan laut
berkisar antara 31,2 – 34,5 ‰ (Tomascik et al. 1997 a). Nontji (1993)
mengatakan bahwa suhu permukaan perairan Indonesia berkisar antara 28 – 31 ºC
dan di Laut Banda pada saat upwelling, suhu turun sampai 25 ºC. Hal ini
disebabkan karena massa air dingin dari lapisan bawah terangkat ke lapisan
atas. Ilahude and Gordon (1996) mengatakan bahwa suhu permukaan bagian sentral
Laut Banda pada musim timur berkisar antara 25,7 – 26,1 oC dengan salinitas
34,1 – 34,4 ‰ sedangkan musim barat suhu berkisar antara 29,6 – 30,3 oC dan
salinitas 34,5 ‰.
Sebaran konsentrasi nutrien perairan Indonesia
menunjukkan suatu karakteristik perairan tropis, dimana konsentrasinya rendah
pada lapisan permukaan. Menurut Wyrtki (1961), untuk perairan Asia Tenggara,
konsentrasi fosfat di bagian permukaan kurang dari 0,2 mg-at/l, dan selanjutnya
meningkat hingga 1,5 mg-at/l pada lapisan diskontinyu, sedangkan untuk lapisan dalam,
konsentrasi fosfat berkisar antara 2,5 – 3,0 mg-at/l. Delsman (1939) yang
dikutip oleh Wyrtki (1961) mengatakan konsentrasi fosfat Laut Jawa kira-kira
0,08 mg-at/l dengan fluktuasi antara 0,03 dan 0,012 mg-at/l di dekat permukaan
dan memiliki nilai yang agak lebih tinggi di dekat dasar perairan yakni antara
0,08 – 0,15 mg-at/l dengan rata-rata 0,12 mg-at/l.
1.6. Hubungan Atara Faktor Oseanografi Dan Produktivitas Primer Perairan
Indonesia
Perairan Indonesia yang merupakan bagian dari laut
tropik dicirikan oleh cukup tersedia cahaya matahari namun memiliki konsentrasi
nutrien rendah. Keadaan ini mengakibatkan produktivitasnya sangat rendah.
Seperti halnya dengan laut tropik, laut lepas merupakan bagian dari badan
perairan bahari yang memiliki laju produktivitas rendah. Menurut Valiela
(1984), laut terbuka yang luasnya 90 % dari laut dunia memiliki laju
produktivitas yang rendah bila dibandingkan dengan lingkungan laut lainnya,
misalnya perairan pantai, dimana produktivitasnya melebihi 60 % dari produktivitas
yang ada di laut.
Laju produksi primer di lingkungan laut ditentukan oleh berbagai faktor fisika antara lain:
Laju produksi primer di lingkungan laut ditentukan oleh berbagai faktor fisika antara lain:
1.
Upwelling
Tingginya produktivitas di laut terbuka yang
mengalami upwelling disebabkan karena adanya pengkayaan nutrien pada lapisan
permukaan tercampur yang dihasilkan melalui proses pengangkatan massa air
dalam. Seperti yang dikemukakan oleh Cullen et al. (1992) bahwa konsentrasi
klorofil-a dan laju produktivitas primer meningkat di sekitar ekuator, dimana
terjadi aliran nutrien secara vertikal akibat adanya upwelling di daerah
divergensi ekuator.
Beberapa daerah-daerah perairan Indonesia yang
mengalami upwelling akibat pengaruh pola angin muson adalah Laut Banda, dan
Laut Arafura (Wyrtki, 1961 dan Schalk, 1987), Selatan Jawa dan Bali ( Hendiarti
dkk, 1995 dan Bakti, 1998), dan Laut Timor (Tubalawony, 2000).
Dari pengamatan sebaran konsentrasi klorofil-a di
Laut Banda dan Laut Aru diperoleh bahwa konsentrasi klorofil-a tertinggi
dijumpai pada Musim Timur, dimana pada saat tersebut terjadi upwelling di Laut
Banda, sedangkan klorofil-a terendah dijumpai pada Musim Barat. Pada saat ini
di Laut Banda tidak terjadi upwelling dalam skala yang besar sehingga nilai
konsentrasi nutrien di perairan lebih kecil. Di perairan Banda (Vosjan and
Nieuwland, 1987) pada Musim Timur terdapat 2 (dua) periode “bloom”
fitoplankton, pertama pada bulan Juni dan kedua di bulan Agustus/September.
Selanjutnya Nontji (1975), dari hasil studi distribusi klorofil-a di Laut Banda
pada fase akhir di bulan September diperoleh bahwa konsentrasi klorofil
tertinggi di bagian timur Laut Banda, khususnya di sekitar Pulau Kei dan
Tanimbar. Juga dikatakan bahwa 60% dari klorofil-a tersebut berada pada
kedalaman 25 m. Hendiarti dkk. (1995) mendapatkan bahwa pada Musim Timur di perairan
selatan Pulau Jawa-Bali dimana terjadi upwelling, rata-rata konsentrasi
klorofil-a sebesar 0,39 mm/l dan pada Musim Barat sekitar 0,18 mm/l.
2.
Percampuran Vertikal Massa Air
Percampuran vertikal massa air sangat berperan di
dalam menyuburkan kolom perairan yaitu dengan cara mengangkat nutrien dari
lapisan dalam ke lapisan permukaan. Dengan meningkatnya nutrien pada lapisan
permukaan dan dibantu dengan penetrasi cahaya matahari yang cukup di dalam
kolom perairan dapat meningkatkan laju produktivitas primer melalui aktivitas
fotosintesa fitoplankton. Chaves and Barber (1987) mengatakan bahwa masukan
nutrien terutama untuk mengoptimalkan konsentrasi NO3 pada lapisan permukaan
dan secara relatif meningkatkan produksi baru.
Percampuran massa air secara vertikal dipengaruhi
oleh tiupan angin. Pada saat Musim Timur di perairan Indonesia bertiup angin
Muson Tenggara yang mengakibatkan sebagian besar perairan Indonesia Timur
mengalami pergolakan yang mengakibatkan terjadinya percampuran massa air secara
vertikal. Tubalawony (2000) berdasarkan data ekspedisi Baruna Jaya pada musim
timur tahun 1991 mendapatkan adanya percampuran vertikal massa air di perairan
lepas pantai Laut Timor yang umumnya lebih dangkal. Akibatnya kandungan
klorofil-a di dalam kolom perairan umumnya lebih tinggi bila dibandingkan
dengan bagian lain dari perairan Laut Timor.
3.
Percampuran Massa Air secara Horisontal
Sistem angin muson dan arlindo juga mempengaruhi
pola sirkulasi massa air di Perairan Indonesia. Sistem ini mengakibatkan terjadinya
percampuran antara dua massa air yang berbeda di suatu perairan. Misalnya pada
saat Musim Timur, massa air dari Lautan Pasifik akan bertemu dengan massa air
Laut Banda yang mengalami upwelling atau pada saat bertiup angin muson tenggara
terjadi penyebaran massa air perairan Indonesia Timur ke perairan Indonesia
bagian barat dan sebaliknya terjadi pada saat bertiup angin muson barat laut.
Dengan demikian sirkulasi massa air dan percampuran massa air akan mempengaruhi
produktivitas primer suatu perairan. Tingginya produktivitas suatu perairan
akan berhubungan dengan daerah asal dimana massa air di peroleh. Nontji (1974)
dalam Monk et al. (1997) mengatakan bahwa rata-rata konsentrasi klorofil-a di
perairan Indonesia kira-kira 0,19 mg/m3 dan 0,16 mg/m3 selama Musim Barat, dan 0,21
mg/m3 selama Musim Timur.
Selain beberapa faktor fisik di atas, keberadaan
lapisan termoklin sangat mendukung tingginya laju produktivitas produksi
primer. Bagian bawah dari lapisan tercampur atau bagian atas dari lapisan
termoklin merupakan daerah yang memiliki konsentrasi nutrien yang cukup tinggi
sehingga dapat merangsang meningkatnya produktivitas primer. Lapisan termoklin
yang dangkal lebih berperan dalam menunjang produktivitas perairan. Karena pada
saat terjadinya proses percampuran vertikal, nutrien pada lapisan termoklin
lebih mudah mencapai lapisan permukaan tercampur jika dibandingkan dengan
lapisan termoklin yang lebih dalam. Beberapa penelitian tentang produktivitas
primer dalam kaitannya dengan keberadaan massa air menyimpulkan bahwa kedalaman
dimana konsentrasi klorofil-a maksimum adalah pada bagian batas atas lapisan
termoklin.
Matsuura et al. (1997) dari hasil pengamatannya di
timur laut Lautan Hindia mendapatkan bahwa konsentrasi klorofil-a pada lapisan
permukaan tercampur sangat sedikit dan mulai meningkat menuju bagian bawah dari
lapisan permukaan tercampur dengan konsentrasi maksimum terdapat pada kedalaman
kira-kira 75 – 100 m. Sedangkan Hendiarti dkk. (1995) mengatakan bahwa
konsentrasi maksimum klorofil-a di perairan selatan Pulau Jawa – Bali berada
pada kedalaman 20 m pada Musim Timur dan 80 m pada Musim Barat. Umumnya
kedalaman tersebut merupakan batas atas lapisan termoklin.
BAB III
PENUTUP
Ø KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pembahasan bahwa yang termasuk
dalam karakteristik air laut adalah suhu, salinitas, densitas, dan warna air
laut.
Karaktersitik massa air perairan Indonesia umumnya
dipengaruhi oleh sistem angin muson yang bertiup di wilayah Indonesia dan
adanya arus lintas Indonesia (arlindo) yang membawa massa air Lautan Pasifik
Utara dan Selatan menuju Lautan Hindia. Pengaruh tersebut mengakibat suhu
permukaan perairan Indonesia lebih dingin dengan salinitas yang lebih tinggi
sebagai pengaruh terjadinya upwelling di beberapa daerah selama musim timur dan
juga akibat dari masuknya massa air Lautan Pasifik, sedangkan pada musim barat,
suhu permukaan perairan lebih hangat dengan salinitas yang lebih rendah.
Rendahnya salinitas akibat pengaruh massa air dari Indonesia bagian barat yang
banyak bermuara sungai-sungai besar.
Selama musim timur, dibeberapa bagian dari perairan
Indonesia mengalami upwelling dan percampuran massa air yang mengakibatkan
terjadinya pengkayaan nutrien pada lapisan permukaan tercampur dan
mengakibatkan tingginya produktivitas primer perairan bila dibandingkan dengan
musim barat.
Faktor-faktor oseanografi yang sangat berperan dalam
mendukung tingginya produktivitas perairan Indonesia adalah upwelling,
percampuran massa air secara vertikal dan horisontal, yang terjadi sebagai
akibat adanya sistem pola angin muson yang bertiup di wilayah Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Referensi :
Tomczak, M, An Introduction to Physical Oceanography
Tomczak, M, An Introduction to Physical Oceanography
Talley,
L, Properties of Seawater
Prager,
Ellen J, and Sylvia A. Earle, The Oceans, McGraw-Hill, 2000.
Pickard
and Emery, Descriptive Physical Oceanography
Bakti,
M. Y., 1998. Dinamika Perairan di Selatan Jawa Timur – Bali pada Musim Timur
1990. Tesis. Institut Pertanian Bogor.
http://oseanografi.blogspot.com/2005/07/salinitas-air-laut.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar