Tingkat-tingkat dan
Perencanaan Pembangunan Wilayah
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Pada umumnya suatu tujuan dan sasaran
yang diharapkan akan lebih mungkin terwujud apabila sebelumnya sudah ada
perencanaan dan persiapan yang matang untuk itu. Hal ini berarti bahwa dengan
adanya perencanaan didalam pencapaian suatu tujuan atau sasaran yang diharapkan
itu, akan lebih besar kemungkinan untuk memperoleh hasil yang memuaskan dari
apa yang diinginkan.
Berdasarkan realitas tersebut diatas
maka Perencanaan Pembangunan Daerah harus diselesaikan dengan segenap daya yang
ada, baik yang dimiliki oleh pemerintah daerah dalam penyelenggaraan
perencanaan pembangunan daerah. Oleh karena itu, Perencanaan Pembangunan sangat
penting pemerintahan daerah“Perencanaan” adalah sangat penting dan menentukan
sekali dalam melakukan tindakan-tindakan ataupun pekerjaan-pekerjaan supaya
hasil dari pekerjaan-pekerjaan itu sesuai dengan apa yang diharapkan.
Perencanaan Pembangunan Menurut W.J.S
Poewardarminta, dalam bukunya Kamus Umum Bahasa Indonesia bahwa yang dimaksud dengan
“rencana” dalam hal ini dapat diartikan sebagai rancangan (rangka sesuatu yang
akan dikerjakan), misalnya rancangan-rancangan yang akan dilaksanakan,
rancangan sesuatu usaha (pembangunan dan sebagainya) yang harus diselesaikan
dalam jangka waktu tertentu.
Dari pendapat diatas bahwa untuk
menyelesaikan rencana pembangunan daerah membutuhkan dasar rancangan. Tanpa
adanya rancangan, maka bukan saja tidak mungkin bagi daerah untuk dapat
menyelenggarakan pembangunan daerah, tetapi juga harus menyelesaikan rancangan
sesuai dengan yang dikerjakan.
Berdasarkan konstelasi diatas
menunjukkan bahwa Perencanaan adalah suatu alat atau cara untuk mencapai tujuan
dengan lebih baik. Pada hakekatnya mendapatkan alasan yang lebih kuat untuk
melakukan perencanaan:
1.Dengan
adanya perencanaan diharapkan terdapatnya suatu pengarahan kegiatan, adanya
pedoman bagi pelaksanaan kegiatan-kegiatan yang ditujukan kepada pencapaian
pembangunan.
2.Dengan
perencanaan, maka suatu perkiraan (forecasting) terhadap hal-hal dalam
masa pelaksanaan yang akan dilalui. Perkiraan dilakukan mengenai
hambatan-hambatan dan resiko-resiko yang mungkin dihadapi, perencanaan
mengusahakan supaya ketidakpastian dapat dibatasi sedikit mungkin.
3.Perencanaan
memberikan kesempatan untuk memilih berbagai alternative tentang cara
yang terbaik (the best alaternative) atau kesempatan untuk memilih
kombinasi cara yang terbaik (the best combination).
4.Dengan
perencanaan dilakukan penyusunan skala prioritas memilih urutan-urutan dari
segi pentingnya suatu tujuan sasaran maupun kegiatan usahanya.
5.Dengan
adanya rencana, maka akan ada alat pengukur atau standar untuk mengadakan
pengawasan/evaluasi (control/evolution).
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka
dapat diambil suatu keuntungan dari pada perencanaan itu sendiri dimana dalam
perencanaan itu sudah dapat diduga efek yang mungkin terjadi dan apa yang
hendak dilaksanakan itu, kemudian akan dapat dicari jalan keluar yang terbaik
untuk mengatasi hal tersebut, sehingga kita akan mungkin melakukan ataupun
melanjutkan suatu pekerjaan yang memang mempunyai efek yang tidak diinginkan.
Mengingat begitu pentingnya dilakukan
perencanaan itu, maka perlu kirannya diberikan beberapa rumusan tentang
perencanaan tersebut dimana melalui rumusan itu kita akan dapat memperoleh
gambaran ataupun penjelasan arti dan fungsi dari pada perencanaan itu sendiri.
Dalam hubungannya dengan penyelenggaraan
perencanaan pembangunan daerah ini, dalam Perkembangannya Perencanaan dalam
arti seluas-luasnya, tidak lain adalah suatu proses persiapan secara sistematis
kegiatan yang akan dilakukan untuk mencapai suatu tujuan tertentu oleh karena
itu pada hakekatnya terdapat pada tiap jenis usaha manusia.39
Dari
penjelasan-penjelasan diatas, dapat dilihat sejauh mana arti dan pentingnya
serta fungsi perencanaan itu sendiri untuk senantiasa dilaksanakan dalam segala
aktifitas-aktifitas kita dalam setiap pekerjaan dan dalam setiap saat.
Dalam melakukan pembangunan, perencanaan
yang matang sangat dibutuhkan, karena pembangunan-pembangunan itu bukanlah
pekerjaan yang ringan dan biasa saja, melainkan adalah suatu pekerjaan yang
cukup berat dan membutuhkan banyak waktu, tenaga maupun biaya. Oleh sebab itu
apabila pembangunan tidak dapat dilaksanakan ataupun dilanjutkan, maka jelas
akan terdapat kerugian yang besar, baik dari segi materi maupun dari segi
tenaga dan waktu, yang dipergunakan dalam melaksanakan pekerjaan tersebut.
Jika dihubungkan dengan Negara Republik
Indonesia yang pada saat ini masih tergolong kepada Negara yang sedang
membangun ataupun disebut juga negara sedang berkembang (developing country),
yang sedang mencurahkan perhatian untuk mengejar ketinggalan-ketinggalan itu
dalam jalan melaksanakan pembangunan-pembangunan secara merata diseluruh
pelosok tanah air melalui pembangunan dalam segala bidang kehidupan, maka
jelaslah bahwa pemerintah harus mempergunakan perencanaan yang matang untuk
mewujudkannya.
Pemerintah
Republik Indonesia pun menyadari betapa pentingnya perencanaan itu, khususnya
dalam melaksanakan pembangunan, untuk itu pemerintah pada tahun 1969 membuat
suatu perencanaan pembangunan jangka panjang yang akan dinamakan dengan Rencana
Pembangunan Jangka Panjang yang akan dilaksanakan secara bertahap dan
berkesinambungan yaitu perencanaan yang dinamakan dengan Rencana Pembangunan
Lima Tahun (REPELITA), dimana perencanaan itu telah dimulai dilaksanakan sejak
tahun 1969 yang dibagi-bagi dalam beberapa tahap dalam bentuk Repelita I, II,
III, IV, V, yang juga dinamakan Pembangunan Jangka Panjang Tahap Pertama (PJPT
I).
Dengan adanya Repelita tersebut,
diharapkan Negara Republik Indonesia akan mampu mengejar ketertinggalan dari
negara-negara lain yang sudah tergolong maju. Tetapi setelah reformasi lahirlah
Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah, lalu diperbaharui
oleh dikeluarkannya lagi Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah yang disertai dengan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan
keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Maka sistem
Pemerintahan Daerah diberi otoritas daerah yang disebut dengan otonomi
seluas-luasnya, dengan asas desentralisasi yang mengacu kepada
dekonsentralisasi.
Desentralisasi menurut Undang-undang
No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah pasal 1 (7) adalah penyerahan
wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dekonsentralisasi menurut Undang-undang
No. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah pasal 1 (8) adalah pelimpahan
wewenang pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada
instansi vertikal di wilayah tertentu.
Tujuan
utama tersebut diatas adalah untuk mewujudkan cita-cita tersebut, perlu
diperhatikan hal-hal yang sangat pokok dalam pelaksanaan pembangunan tersebut
yaitu perlu adanya perencanaan yang matang supaya tidak terjadi pelaksanaan
pembangunan yang sia-sia, karena melalui perencanaan yang matang itu akan dapat
ditempuh berbagai cara yang terbaik untuk menjalankan ataupun melaksanakan
pembangunan itu sesuai dengan apa yang diharapkan.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apa
yang dimaksud dengan perencanaan pembangunan wilayah?
2. Bagaimana
teori Perencanaan
Pembangunan Wilayah ?
3. Bagaimana implementasi perencanaan Pembangunan
Wilayah?
4. Apa
yang dimaksud dengan tingkat-tingkat perencanaan pembangunan wilayah?
5. Bagaimana
teori tingkat-tingkat Perencanaan Pembangunan Wilayah ?
6. Bagaimana implementasi
tingkat-tingkat perencanaan Pembangunan Wilayah?
C.
Tujuan
1. Mengetahui
perencanaan pembangunan wilayah
2. Mengetahui
teori Perencanaan
Wilayah
3. Mengetauhui
implementasi
perencanaan pembangunan wilayah
4. Mengetahui
tingkat-tingkat perencanaan pembangunan wilayah
5. Mengetahui
teori tingkat-tingkat Perencanaan Pembangunan Wilayah
6. Mnegetahui
implementasi
tingkat-tingkat perencanaan Pembangunan Wilayah
BAB II
PEMBAHASAN
I.
Teori
A.
Teori
Perencanaan Wilayah
Perencanaan Wilayah adalah suatu proses perencanaan
pembangunan yang dimaksudkan untuk
melakukan perubahan menuju arah perkembangan yang lebih baik bagi suatu komunitas masyarakat,
pemerintah, dan lingkungannya dalam wilayah
tertentu, dengan memanfaatkan atau mendayagunakan berbagai sumber daya yang ada, dan harus memiliki orientasi
yang bersifat menyeluruh, lengkap, tetap
berpegang pada azas prioritas (Riyadi dan Bratakusumah, 2003).
Menurut
Chaprin,perencanaan wilayah (Regional Planning) adalah upaya intervensi
terhadap kekuatan-kekuatan pasar yang dalam konteks pengembangan wilayah yang
memiliki tiga tujuan pokok yakni meminimalkan konflik kepentingan antar
sektor,meningkatkan kemajuan sektoral dan membawa kemajuan bagi masyarakat
secara keseluruhan.
Menurut Riyadi dan Bratakusumah
(2004 : 7), perencanaan pembangunan dapat diartikan sebagai : Suatu proses
perumusan alternatif-alternatif atau keputusan-keputusan yang didasarkan pada
data-data dan fakta-fakta yang akan digunakan sebagai bahan untuk melaksanakan
suatu rangkaian kegiatan/aktivitas kemasyarakatan, baik yang bersifat fisik
(material) maupun nonfisik (mental dan spiritual) dalam rangka mencapai tujuan
yang lebih baik”.
Dalam upaya pembangunan wilayah, masalah yang
terpenting yang menjadi perhatian para
ahli ekonomi dan perencanaan wilayah adalah menyangkut proses pertumbuhan ekonomi dan pemerataan
pembangunan. Perbedaan teori pertumbuhan ekonomi wilayah dan teori pertumbuhan ekonomi
nasional terletak pada sifat keterbukaan
dalam proses input-output barang dan jasa maupun orang. Dalam sistem wilayah keluar masuk orang atau barang
dan jasa relatif bersifat lebih terbuka,
sedangkan pada skala nasional bersifat lebih tertutup (Sirojuzilam, 2007).
Perencanaan Wilayah merupakan satu-satunya jalan
yang terbuka untuk menaikkan pendapatan
per kapita, mengurangi ketimpangan pendapatan dan meningkatkan kesempatan kerja (Jhingan, 2000).
Perencanaan Pembangunan Daerah adalah
“Suatu usaha yang sistematik dari pelbagai pelaku (aktor), baik umum, publik atau
pemerintah, swasta, maupun kelompok masyarakat lainnya pada tingkatan yang berbeda untuk menghadapi saling ketergantungan
dan keterkaitan aspek fisik, sosial, ekonomi
dan aspek lingkungan lainnya dengan cara:
1.
secara terus menerus menganalisis kondisi dan pelaksanaan pembangunan daerah;
2.
merumuskan tujuan dan kebijakan pembangunan daerah;
3.
menyusun konsep strategi bagi pemecahan masalah (solusi), dan
4.
melaksanakannya dengan menggunakan
sumber daya yang tersedia sehingga peluang
baru untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat daerah dapat ditangkap secara berkelanjutan” (Solihin, D,
2005).
Menurut Archibugi (2008) berdasarkan penerapan teori
perencanaan wilayah dapat dibagi atas
empat komponen yaitu :
(a)
Physical Planning (Perencanaan fisik).
Perencanan yang perlu dilakukan untuk merencanakan
secara fisik pengembangan wilayah. Muatan perencanaan ini lebih diarahkan kepada pengaturan tentang
bentuk fisik kota dengan jaringan infrastruktur
kota menghubungkan antara beberapa titik simpul aktivitas. Teori perencanaan ini telah membahas tentang kota
dan sub bagian kota secara komprehensif.
Dalam perkembangannya teori ini telah memasukkan kajian tentang aspek lingkungan. Bentuk produk dari
perencanaan ini adalah perencanaan
wilayah yang telah dilakukan oleh pemerintah Kota Medan dalam bentuk master plan (tata ruang, lokasi tempat
tinggal, aglomerasi, dan penggunaan
lahan).
(b)
Macro-Economic Planning (Perencanaan
Ekonomi Makro). Dalam perencanaan ini
berkaitan perencanaan ekonomi wilayah. Mengingat ekonomi wilayah menggunakan teori yang digunakan sama dengan
teori ekonomi makro yang berkaitan
dengan pembangunan ekonomi, pertumbuhan ekonomi, pendapatan, distribusi pendapatan, tenaga kerja,
produktivitas, perdagangan, konsumsi dan investasi. Perencanaan ekonomi makro wilayah
adalah dengan membuat kebijakan ekonomi
wilayah guna merangsang pertumbuhan ekonomi wilayah. Bentuk produk dari perencanaan ini adalah
kebijakan bidang aksesibilitas lembaga
keuangan, kesempatan kerja, tabungan).
(c)
Social Planning (Perencanaan Sosial).
Perencanaan sosial membahas tentang pendidikan,
kesehatan, integritas sosial, kondisi tempat tinggal dan tempat kerja, wanita, anak-anak dan masalah kriminal.
Perencanaan sosial diarahkan untuk membuat
perencanaan yang menjadi dasar program pembangunan sosial di daerah. Bentuk produk dari perencanaan ini
adalah kebijakan demografis.
(d)
Development Planning (Perencanaan Pembangunan). Perencanaan ini berkaitan dengan perencanaan program pembangunan secara
komprehensif guna mencapai pengembangan wilayah. Fianstein dan Norman (1991) tipologi
perencanaan dibagi atas empat macam yang
didasarkan pada pemikiran teoritis. Empat macam perencanaan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
a)
Traditional planning (perencanaan tradisional). Pada jenis perencanaan ini perencana menetapkan maksud dan tujuan untuk
merubah sebuah sistem kota yang telah
rusak. Biasanya pada konsep perencanaan ini membuat kebijakan-kebijakan untuk melakukan perbaikan pada sistem kota.
Pada perencanaan tradisional memiliki
program inovatif terhadap perbaikan lingkungan perkotaan dengan menggunakan standar dan metode yang
professional.
b)
User-Oriented Planning (Perencanaan yang berorientasi pada pengguna). Konsep perencanaan ini adalah membuat perencanaan
yang bertujuan untuk mengakomodasi
pengguna dari produk perencaan tersebut, dalam hal ini masyarakat Kota. Masyarakat yang menentukan
produk perencanaan harus dilibatkan
dalam setiap proses perencanaan.
c)
Advocacy Planning (Perencanaan Advokasi). Pada perencanaan ini berisikan program pembelaan terhadap masyarakat yang
termarjinalkan dalam proses pembangunan
kota dalam hal ini adalah masyarakat miskin kota. Pada perencanaan advokasi akan memberikan perhatian
khusus terhadap melalui program khusus
guna meningkatkan taraf hidup masyarakat miskin.
d)
Incremental Planning (Perencanaan dukungan). Pada perencanaan yang bersifat dukungan terhadap sebuah proses pengambilan
keputusan terhadap permasalahanpermasalahan perkotaan. Produk perencanaan ini bersifat analisis
yang mendalam terhadap permasalahan
dengan mempertimbangkan dampak positif dan dampak negatif sebuah kebijakan.
Menurut Glasson dalam buku Tarigan (2005)
menyebutkan tipe-tipe perencanaan
terdiri dari; physical planning and economic planning, allocative and innovative planning, multi or single objective
planning dan indicative or imperative planning.
Selanjutnya menurut Tarigan (2005) di Indonesia juga dikenal jenis top- down
and bottom-up planning, vertical and horizontal planning, dan perencanaan yang melibatkan masyarakat secara langsung dan
yang tidak melibatkan masyarakat sama
sekali. Uraian di atas masing-masing jenis itu dikemukakan sebagai berikut:
1.
Perencanaan Fisik Versus Perencanan Ekonomi. Pada dasarnya pembedaan ini
didasarkan atas isi atau master dari perencanaan. Namun demikian, orang awam
terkadang tidak bisa melihat perbedaan antara perencanaan fisik dengan
perencanaan ekonomi. Perencanaan fisik (physical planning) adalah perencanaan
untuk mengubah atau memanfaatkan struktur fisik suatu wilayah misalnya
perencanaan tata ruang atau tata guna, perencanaan jalur
transportasi/komunikasi, penyediaan fasilitas untuk umum, dan lain-lain. Perencanaan
ekonomi (economic planning) berkenaan dengan perubahan struktur ekonomi suatu
wilayah dan langkah-langkah untuk memperbaiki tingkat kemakmuran suatu wilayah.
Perencanaan ekonomi didasarkan atas mekanisme pasar
daripada perencanaan fisik yang lebih didasarkan atas kelayakan teknis. Perlu
dicatat bahwa apabila perencanaan itu bersifat terpadu, perencanaan fisik
berfungsi untuk mewujudkan berbagai sasaran yang ditetapkan di dalam
perencanaan ekonomi. Akan tetapi, ada juga keadaan di mana hasil perencanan
fisik harus dipertimbangkan perencanaan ekonomi, misalnya dalam hal tata ruang.
2.
Perencanaan Alokatif Versus Perencanaan Inovatif. Pembedaan ini didasarkan atas
perbedaan visi dari perencanaan tersebut, yaitu antara perencanaan model
alokatif dan perencanaan yang bersifat inovatif. Perencanaan alokatif
(alocative planning) berkenaan dengan menyukseskan rencana umum yang telah
disusun pada level yang lebih tinggi atau telah menjadi kesepakatan bersama.
Jadi, inti kegiatannya berupa koordinasi dan sinkronisasi agar sistem kerja
untuk mencapai tujuan itu dapat berjalan secara efektif dan efesien sepanjang
waktu. Karena sifatnya, model perencanaan ini kadang-kadang disebut regulatory
planning (mengatur pelaksanaan ). Dalam perencanaan inovatif (innovative
planning), para perencana lebih memiliki kebebasan, baik dalam menetapkan
target maupun cara yang ditempuh untuk mencapai target tersebut. Artinya,
mereka dapat menetapkan prosedur atau cara-cara, yang penting target itu dapat
dicapai atau dilampaui. Perencanaan inovatif juga berlaku apabila ada kegiatan
baru yang perlu dibuat prosedur atau sistem kerjanya, yang selama ini belum
ada.
3.
Perencanaan Bertujuan Jamak versus Perencanaan Bertujuan Tunggal. Pembedaan ini
didasarkan atas luas pandang (skop) yang tercakup, yaitu antara perencanaan
bertujuan jamak dan perencanaan tunggal. Perencanaan dapat mempunyai dan
sasaran tunggal atau jamak. Perencanaan bertujuan tunggal apabila sasaran yang
hendak dicapai adalah sesuatu yang dinyatakan dengan tegas dalam perencanaan
itu dan bersifat tunggal. Misalnya, rencana pemerintah untuk membangun 100 unit
rumah di suatu lokasi tertentu. Perencanaan bertujuan ini tidak mengaitkan
pembangunan rumah dengan manfaat lain yang mungkin ditimbulkannya karena tidak
menjadi fokus perhatian utama. Perencanaan bertujuan jamak adalah perencanaan
yang memiliki beberapa tujuan sekaligus. Misalnya, rencana pelebaran dan
peningkatkan kualitas jalan penghubung yang ditujukan untuk memberikan berbagai
manfaat sekaligus, yaitu agar perhubungan di daerah semakin lancar, dapat
menarik berdirinya permukiman baru dan mendorong bertambahnya aktivitas pasar
di daerah tersebut. Terkadang ada juga sasaran lain dengan dibukanya jalan baru
yang bisa saja tidak dinyatakan secara tegas dalam rencana itu sendiri.
Misalnya, makin lancarnya komunikasi sehingga masyarakat setempat makin terbuka
untuk pembaruan dan makin lancarnya perdagangan. Perencanaan ekonomi umumnya
bertujuan jamak sedangkan perencanaan fisik ada yang bertujuan tunggal tetapi
ada juga yang bertujuan jamak.
4.
Perencanaan Bertujuan Jelas Versus Perencanaan Bertujuan Laten. Pembedaan ini
didasarkan atas konkret atau tidak konkretnya isi rencana tersebut. Perencanaan
bertujuan jelas adalah perencanaan yang dengan tegas menyebutkan tujuan dan
sasaran dari perencanaan tersebut, yang sasarannya dapat diukur
keberhasilannya. Dalam perencanaan, tujuan selalu dibuat lebih bersifat umum
dibandingkan dengan sasaran. Tujuan belum tentu dapat diukur walaupun bisa
dirasakan, sedangkan sasaran biasanya dinyatakan dalam angka konkret sehingga
bisa diukur dengan tingkat pencapaiannya. Misalnya, tujuan perencanaan adalah
menaikkan taraf hidup rakyat, sasarannya adalah menaikkan pendapatan per kapita
dari $ 400 menjadi $ 500 per tahun, dalam jangka waktu tiga tahun yang akan
datang. Perencanaan bertujuan laten adalah perencanaan yang tidak menyebutkan
sasaran dan bahkan tujuannya pun kurang jelas sehingga sulit untuk dijabarkan.
Tujuan perencanaan laten sering dikejar secara tidak sadar, misalnya ingin
hidup lebih bahagia, kehidupan dalam masyarakat yang aman, nyaman, dan penuh
dengan rasa kekeluargaan.
5.
Perencanaan Indikatif Versus Perencanaan Imperatif. Pembedaan ini didasarkan
atas ketegasan dari isi perencanaan dan tingkat kewenangan dari institusi
pelaksana. Perencanaan indikatif adalah perencanaan di mana tujuan yang hendak
dicapai hanya dinyatakan dalam bentuk indikasi, artinya tidak dipatok dengan
tegas. Tujuan bisa juga dinyatakan dalam bentuk indikator tertentu, namun
indikator ini sendiri bisa konkret dan bisa hanya perkiraan (indikasi). Tidak
diatur bagaimana cara untuk mencapai tujuan tersebut. Tidak diatur prosedur
ataupun langkah-langkah untuk mencapai tujuan tersebut, yang penting indikator
yang dicantumkan dapat tercapai. Dalam perencanaan itu mungkin terdapat
petunjuk atau pedoman, yaitu semacam nasehat bagaimana sebaiknya rencana itu
dijalankan, tetapi pedoman itu sendiri tidak terlalu mengikat. Pelaksana di
lapangan masih dapat melakukan perubahan sepanjang tujuan ingin dicapai dapat
dicapai atau dilampaui dengan besaran biaya tidak melampaui yang ditentukan.
Perencana imperatif adalah perencanaan yang mengatur baik sasaran, prosedur,
pelaksana, waktu pelaksanaan, bahan-bahan, serta alat-alat yang dapat dipakai
untuk menjalankan rencana tersebut. Itulah sebabnya mengapa perencanaan ini
disebut perencanaan komando. Pelaksana di lapangan tidak berhak mengubah apa
yang tertera dalam rencana. Hampir mirip dengan tipe perencanaan di atas adalah
yang menggunakan bentuk kombinasi lain, yaitu induced planning versus
imperative planning. Pembedaan dalam kombinasi terakhir ini lebih didasarkan
atas kewenangan dari institusi terlibat. Induced planning adalah perencanaan
dengan sistem rangsangan. Perencanaan dengan sistem rangsangan, yaitu apabila
pemerintah pada level yang lebih tinggi memberi rangsangan kepada pemerintah
yang lebih rendah. Hal ini terjadi jika pemerintah pada level yang lebih rendah
mau melaksanakan program yang diinginkan oleh pemerintah pada level yang lebih
tinggi.
6.
Top Down Versus Bottom Up Planning. Pembedaan perencanaan jenis ini didasarkan
atas kewenangan dari institusi yang terlibat. Perencanaan model up-down dan
bottom-up hanya berlaku apabila terdapat beberapa tingkat atau lapisan
pemerintahan atau beberapa jenjang jabatan di perusahaan yang masing-masing tingkatan
diberi wewenang untuk melakukan perencanaan. Perencanaan model top-down adalah
apabila kewenangan utama dalam perencanaan itu berada pada institusi yang lebih
tinggi di mana institusi perencana pada level yang lebih rendah harus menerima
rencana atau arahan dari institusi yang lebih tinggi. Rencana dari institusi
yang lebih tinggi tersebut harus dijadikan bagian rencana institusi yang lebih
rendah. Umumnya terjadi adalah kombinasi antara kedua model tersebut. Akan
tetapi dari rencana yang dihasilkan oleh kedua level institusi perencanaan
tersebut, dapat ditentukan model mana yang lebih dominan. Apabila yang dominan
adalah top-down maka perencanaan itu disebut sentralistik, sedangkan apabila
yang dominan adalah bottom-up maka perencanaan itu disebut desentralistik.
7.
Vertical Versus Horizontal Planning. Pembedaan ini juga didasarkan atas
perbedaan kewenangan antar institusi walaupun lebih ditekankan pada perbedaan
jalur koordinasi yang diutamakan perencana. Vertical planning adalah
perencanaan yang lebih mengutamakan koordinasi antar berbagai jenjang pada sektor
yang sama. Model ini mengutamakan keberhasilan sektoral, jadi menekankan
pentingnya koordinasi antar berbagai jenjang pada instansi yang sama. Tidak
diutamakan keterkaitan antar sektor atau apa yang direncanakan oleh sektor
lainnya, melainkan lebih melihat kepada kepentingan sektor itu sendiri itu
bagaimana hal ini dapat dilaksanakan oleh berbagai jenjang pada instansi yang
sama di berbagai daerah secara baik dan terkoordinasi untuk mencapai sasaran
sektoral. Horizontal planning menekankan keterkaitan antar berbagai sektor
sehingga berbagai sektor itu dapat berkembang secara bersinergi. Horizontal
planning melihat pentingnya koordinasi antar berbagai instansi pada level yang
sama, ketika masing-masing instansi menangani kegiatan atau sektor yang berbeda.
Horizontal planning menekankan keterpaduan program antar berbagai sektor pada
level yang sama. Antara kedua model perencanaan itu harus terdapat arus
bolak-balik sehingga dihasilkan rencana yang baik.
8.
Perencanaan yang melibatkan masyarakat secara langsung Versus yang tidak
melibatkan masyarakat. Pembedaan ini juga didasarkan atas kewenangan yang
diberikan kepada institusi perencanaan yang sering kali terkait dengan luas
bidang yang direncanakan. Perencanaan yang melibatkan masyarakat secara langsung
adalah apabila sejak awal masyarakat telah diberitahu dan diajak ikut serta
dalam menyusun rencana tersebut. Perencanaan yang tidak melibatkan masyarakat
adalah apabila masyarakat tidak dilibatkan sama sekali dan paling-paling hanya
dimintakan persetujuan dari DPRD untuk persetujuan akhir. Perencanaan yang
tidak melibatkan masyarakat misalnya apabila perencanaan itu bersifat teknis
pelaksanaan, bersifat internal, menyangkut bidang yang sempit, dan tidak secara
langsung bersangkut paut dengan kepentingan orang banyak. Persetujuan DPRD pun
umumnya tidak dimintakan untuk perencanaan seperti itu. Perencanaan yang
bersangkut paut dengan kepentingan orang banyak mestinya melibatkan masyarakat
tetapi dalam prakteknya masyarakat hanya diwakili oleh orang-orang yang dikategorikan
sebagai tokoh masyarakat. Dalam praktik, kedua pembagian di atas tidaklah
mutlak. Artinya, perencanaan sering mengambil bentuk diantara keduanya.
Perencanaan yang melibatkan masyarakat luas hanya mungkin untuk wilayah yang
kecil, misalnya lingkungan, desa atau kelurahan, dan kecamatan. Untuk wilayah
yang lebih luas, biasanya hanya mungkin dengan cara mengundang tokoh-tokoh
masyarakat atau pimpinan organisasi kemasyarakatan. Seringkali tokoh masyarakat
atau organisasi kemasyarakatan hanya dilibatkan pada diskusi awal untuk
memberikan masukan dan pada diskusi akhir untuk melihat bahwa aspirasi mereka
sudah tertampung. Perencanaan yang menyangkut kepentingan masyarakat banyak
biasanya harus mendapat persetujuan DPRD sebagai perwakilan dari kepentingan
masyarakat.
B.
Sistem
Perencanaan Pembangunan Wilayah
Perencanaan pembangunan ekonomi daerah dianggap
sebagai perencanaan untuk memperbaiki penggunaan sumber daya yang ada.
Perencanaan adalah suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat,
melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumber daya yang tersedia.
Pembangunan daerah adalah pemanfaatan sumber daya yang dimiliki untuk
peningkatan kesejahteraan masyarakat yang nyata, baik aspek pendapatan,
kesempatan kerja, lapangan berusaha, akses terhadap pengambilankebijakan,
berdaya saing maupun peningkatan indeks manusia (Kuncoro, 2005).
Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional tahun 2004
dikeluarkan pemerintah untuk memperbaiki berbagai kelemahan perencanaan
pembangunan yang dirasakan dimasa lalu. Sasaran perbaikan yang diharapkan
antara lain adalah mewujudkan keterpaduan dan sinergi pembangunan antar dinas
dan instansi dan antar daerah, keterpaduan antara perencanaan dan penganggaran
serta untuk lebih mengoptimalkan pemanfaatan partisipasi masyarakat dalam
penyusunan perencanaan.
Rencana pembangunan menurut Undang-Undang Nomor 25
tahun 2004 terdiri dari:
1.
RPJP
2.
RPJM
3.
RKP
Ø RPJP
(Rencana Pembangunan Jangka Panjang)
Koordinasi pembangunan jangka panjang secara
nasional dilakukan melalui penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Panjang
(RPJP), baik untuk pemerintah, pemerintah propinsi maupun pemerintah
kabupaten/kota untuk periode 20 tahun. RPJP-Nasional, propinsi maupun
kabupaten/kota berisikan visi, misi dan arah pembangunan secara nasional yang
merupakan penjabaran dari tujuan terbentuknya pemerintahan Negara Indonesia
yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. RPJP ini selanjutnya
dijadikan landasan utama penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM
untuk periode 5 tahun).
·
RPJM (Rencana
Pembangunan Jangka Menengah)
RPJM memuat strategi pembangunan, kebijakan umum,
program kementerian/lembaga/SKPD, program kewilayahan serta kerangka ekonomi
makro yang mencakup gambaran perekonomian nasional/daerah secara menyeluruh,
termasuk kebijakan fiskal dan kerangka pendanaan. RPJM tersebut selanjutnya
dijadikan dasar utama untuk penyusunan Rencana Tahunan (Annual Planning) yang
bersifat operasional sesuai dengan kemampuan dana pada tahun yang bersangkutan.
Bahkan rencana tahunan yang harus dibuat tersebut telah menggunakan istilah
lain yaitu Rencana Kerja Pemerintah (RKP) pada tingkat nasional atau RKPD untuk
tingkat daerah yang mengisyaratkan bahwa rencana tahunan tersebutlah yang
menjadi rencana kerja pemerintah untuk tahun yang bersangkutan. RKPD/RKP
tersebut berisikan prioritas pembangunan, rancangan kerangka ekonomi makro,
program kementerian/lembaga, program kewilayahan dan kerangka pendanaan yang
bersifat indikatif.
Dengan mempedomani rancangan RPJP Daerah yang telah
selesai disusun, Pemerintah Daerah diwajibkan pula menyusun RPJM Daerah yang
berisikan arah dan strategi kebijakan pembangunan daerah dan program kerja
satuan perangkat daerah, baik yang bersifat lintas sektoral maupun lintas
wilayah. Termasuk dalam RPJM Daerah ini adalah rencana kerja dan kerangka
regulasi dan pendanaan yang bersifat indikatif. Agar perencanaan menjadi lebih
kongkrit, maka target-target yang ditetapkan perlu diusahakan secara
kuantitatif, walaupun disadari hal ini tidak dapat dilakukan untuk semua
sektor. Target yang bersifat kuantitatif tersebut nantinya juga sangat
diperlukan pada waktu melakukan monitoring dan evaluasi terhadap keberhasilan
terhadap pelaksanaan program. Rancangan RPJM-Daerah yang telah selesai
selanjutnya dijadikan dasar menyusun Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD)
yang merupakan rencana tahunan (Annual Planning) bersifat operasional. RKPD
pada dasarnya merupakan jabaran dari RPJM Daerah yang berisikan rencana kerja
pembangunan daerah, prioritas, dan program pembangunan daerah, berikut
pendanaannya, baik yang dilaksanakan secara langsung maupun tidak langsung oleh
pemerintah daerah untuk tahun yang bersangkutan (Gani, J.Y, 2005).
·
RKP (Rencana Kerja
Pemerintah)
Peranan RKP demikian penting karena dokumen
perencanaan ini adalah memadukan
perencanaan pembangunan jangka menengah yang kurang operasional dengan
perencanaan anggaran yang sangat operasional sesuai dengan kemampuan dana pada
tahun yang bersangkutan. Dengan adanya RKP/D tersebut maka akan terdapat
keterpaduan antara perencanaan, program dan pendanaan sesuai dengan prinsip
Ilmu Perencanaan yaitu Planning, Programming and Budgetting System (PPBS).
C.
Teori
Pembangunan Wilayah
Dalam banyak kepustakaan tentang pembangunan,
terdapat beberapa pendekatan dan teori.
Menyebut beberapa diantaranya adalah growth theory, rural development theory, agro first theory, basic
needs theory, dan lain sebagainya. Teori- teori pembangunan itu memuat berbagai
pendekatan ilmu sosial yang berusaha menangani
masalah keterbelakangan. Teori pembangunan benar-benar lepasa landas hanya setelah diketahui bahwa persoalan
pembangunan di Dunia Ketiga bersifat khusus
dan secara kualitatif berbeda dari “transisi orisinil”. Sepanjang evolusinya, teori
pembangunan menjadi semakin kompleks dan nondisipliner. Dengan demikian, tidak
akan ada definisi baku dan final mengenai pembangunan, yang ada hanyalah usulan
mengenai apa yang seharusnya diimplikasikan oleh pembangunan dalam konteks
tertentu (Hettne, 2001).
Salah satu teori pembangunan wilayah adalah
pertumbuhan tak berimbang (unbalanced growth) yang dikembangkan oleh Hirscham
dan Myrdal. Pengembangan wilayah merupakan proses perumusan dan
pengimplementasian tujuan-tujuan pembangunan dalam skala supra urban.
Pembangunan wilayah pada dasarnya dilakukan dengan menggunakan sumber daya alam
secara optimal melalui pengembangan ekonomi lokal, yaitu berdasarkan kepada
kegiatan ekonomi dasar yang terjadi pada suatu wilayah. Teori pertumbuhan tak
berimbang memandang bahwa suatu wilayah tidak dapat berkembang bila ada
keseimbangan, sehingga harus terjadi ketidakseimbangan. Penanaman investasi
tidak mungkin dilakukan pada setiap sektor di suatu wilayah secara merata,
tetapi harus dilakukan pada sektor-sektor unggulan yang diharapkan dapat
menarik kemajuan sektor lainnya. Sektor yang diunggulkan tersebut dinamakan
sebagai
leading sektor. Sesungguhnya teori pembangunan terkait erat dengan strategi
pembangunan, yakni perubahan struktur ekonomi dan pranata sosial yang
diupayakan untuk menemukan solusi yang konsisten dan langgeng bagi persoalan
yang dihadapi para Pxsa uncul berbagai pendekatan menyangkut tema-tema kajian
tentang pembangunan. Satu diantaranya adalah mengenai isu pembangunan wilayah.
Secara luas, pembangunan wilayah diartikan sebagai suatu upaya merumuskan dan mengaplikasikan
kerangka teori ke dalam kebijakan ekonomi dan program pembangunan yang di
dalamnya mempertimbangkan aspek wilayah dengan mengintegrasikan aspek sosial
dan lingkungan menuju tercapainya kesejahteraan yang optimal dan berkelanjutan
(Nugroho dan Dahuri, 2004).
Perencanaan pembangunan wilayah semakin relevan
dalam mengimplementasikan kebijakan ekonomi dalam aspek kewilayahan. Hoover dan
Giarratani (dalam Nugroho dan Dahuri, 2004), menyimpulkan tiga pilar penting
dalam proses pembangunan wilayah, yaitu:
1.
Keunggulan komparatif (imperfect mobility of factor). Pilar ini berhubungan
dengan keadaan dtemukannya sumber-sumber daya tertentu yang secara fisik relatif
sulit atau memiliki hambatan untuk digerakkan antar wilayah. Hal ini disebabkan
adanya faktor-faktor lokal (bersifat khas atau endemik, misalnya iklim dan
budaya) yang mengikat mekanisme produksi sumber daya tersebut sehingga wilayah
memiliki komparatif. Sejauh ini karakteristik tersebut senantiasa berhubungan
dengan produksi komoditas dari sumber daya alam, antara lain pertanian,
perikanan, pertambangan, kehutanan, dan kelompok usaha sektor primer lainnya.
2.
Aglomerasi (imperfect divisibility). Pilar aglomerasi merupakan fenomena
eksternal yang berpengaruh terhadap pelaku ekonomi berupa meningkatnya keuntungan
ekonomi secara spasial. Hal ini terjadi karena berkurangnya biaya-biaya
produksi akibat penurunan jarak dalam pengangkutan bahan baku dan distribusi
produk.
3.
Biaya transpor (imperfect mobility of good and service). Pilar ini adalah yang
paling kasat mata mempengaruhi aktivitas perekonomian. Implikasinya adalah biaya
yang terkait dengan jarak dan lokasi tidak dapat lagi diabaikan dalam proses
produksi dan pembangunan wilayah.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan
perkembangan wilayah antara lain dipengaruhi oleh aspek-aspek keputusan
lokasional, terbentuknya sistem perkotaan, dan mekanisme aglomerasi. Istilah
pertumbuhan wilayah dan perkembangan wilayah sesungguhnya tidak bermakna sama.
Pertumbuhan dan perkembangan wilayah merupakan suatu proses kontiniu hasil dari
berbagai pengambilan keputusan di dalam ataupun yang mempengaruhi suatu
wilayah.
Perkembangan wilayah senantiasa disertai oleh adanya
perubahan struktural. Wilayah tumbuh dan berkembang dapat didekati melalui
teori sektor (sektor theory) dan teori tahapan perkembangan (development stages
theory). Teori sektor diadopsi dari Fisher dan Clark yang mengemukakan bahwa
berkembangnya wilayah, atau perekonomian nasional, dihubungan dengan
transformasi struktur ekonomi dalam tiga sektor utama, yakni sektor primer
(pertanian, kehutanan dan perikanan), serta sektor tertier (perdagangan,
transportasi, keuangan dan jasa). Perkembangan ini ditandai oleh penggunaan
sumber daya dan manfaatnya, yang menurun di sektor primer, meningkat di sektor
tertier, dan meningkat hingga pada suatu tingkat tertentu di sektor sekunder.
Sedangkan teori tahapan perkembangan dikemukakan
oleh para pakar seperti Rostow, Fisher, Hoover, Thompson dan lain-lain. Teori
ini dianggap lebih mengadopsi unsur spasial dan sekaligus menjembatani
kelemahanan teori sektor. Pertumbuhan dan perkembangan wilayah dapat
digambarkan melalui lima tahapan.
1.
Wilayah dicirikan oleh adanya industri yang dominan. Pertumbuhan wilayah sangat
bergantung pada produk yang dihasilkan oleh industri tersebut, antara lain
minyak, hasil perkebunan dan pertanian, dan produk-produk primer lainnya.
Industri demikian dimiliki oleh banyak negara dalam awal pertumbuhannya.
2.
Tahapan ekspor kompleks. Tahapan ini menggambarkan bahwa wilayah telah mampu
mengekpsor selain komoditas dominan juga komoditas kaitannya. Misalnya,
komoditas dominan yang diekspor sebelumnya adalah minyak bumi mentah, maka
dalam tahapan kedua wilayah juga mengekspor industri (metode) teknologi
penambangan (kaitan ke belakang) dan produk-produk turunan dari minyak bumi
(kaitan ke depan) misalnya premium, solar dan bahan baku plastik.
3.
Tahapan kematangan ekonomi. Tahapan ketiga ini menunjukkan bahwa aktivitas
ekonomi wilayah telah terdiversifikasi dengan munculnya industri substitusi
impor, yakni industri yang memproduksi barang dan jasa yang sebelumnya harus
diimpor dari luar wilayah. Tahapan ketiga ini juga memberikan tanda kemandirian
wilayah dibandingkan wilayah lainnya.
4.
Tahapan pembentukan metropolis (regional metropolis). Tahapan ini memperlihatkan
bahwa wilayah telah menjadi pusat kegiatan ekonomi untuk mempengaruhi dan
melayani kebutuhan barang dan jasa wilayah pinggiran. Dalam tahapan ini
pengertian wilayah fungsional dapat diartikan bahwa aktivitas ekonomi wilayah
lokal berfungsi sebagai pengikat dan pengendali kota-kota lain. Selain itu,
volume aktivitas ekonomi ekspor sangat besar yang diiringi dengan kenaikan
impor yang sangat signifikan.
5.
Tahapan kemajuan teknis dan profesional (technical professional virtuosity). Tahapan
ini memperlihatkan bahwa wilayah telah memberikan peran yang sangat nyata
terhadap perekonomian nasional. Dalam wilayah berkembang produk dan
proses-proses produksi yang relatif canggih, baru, efisien dan terspesialisasi.
Aktivitas ekonomi telah mengandalkan inovasi, modifikasi, dan imitasi yang
mengarah kepada pemenuhan kepuasan individual dibanding kepentingan masyarakat.
Sistem ekonomi wilayah menjadi kompleks (economic reciproating system),
mengaitkan satu aktivitas dengan aktivitas ekonomi lainnya (Nugroho dan Dahuri,
2004).
Dalam kerangka pengembangan wilayah, perlu dibatasi
pengertian “wilayah” yakni ruang permukaan bumi dimana manusia dan makhluk
lainnya dapat hidup dan beraktivitas. Menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992
tentang Penataan Ruang, wilayah diartikan sebagai kesatuan geografis beserta
segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek
administratif dan atau aspek fungsional. Dalam kerangka pembangunan nasional,
perencanaan pengembangan wilayah dimaksudkan untuk memperkecil perbedaan
pertumbuhan kemakmuran antar wilayah atau antar daerah. Di samping itu,
diusahakan untuk memperkecil perbedaan kemakmuran antara perkotaan dan pedesaan
(Jayadinata, 1999).
Ciri-ciri pembangunan daerah menurut Riyadi, Deddy
Supriady Bratakusumah (2004 ; 9) meliputi hal-hal sebagai berikut :
1. Menghasilkan
program-program yang bersifat umum.
2. Analisis perencanaan bersifat makro/luas
3. lebih efektif dan efisien digunakan untuk
perencanaan jangka menengah dan panjang.
4. memerlukan pengetahuan secara interdisipliner, general dan universal, namun tetap memiliki spesifikasi masing-masing yang jelas.
4. memerlukan pengetahuan secara interdisipliner, general dan universal, namun tetap memiliki spesifikasi masing-masing yang jelas.
5. fleksibel dan mudah untuk dijadikan sebagai acuan
perencanaan pembangunan jangka pendek (1 tahunan).
Dengan melihat berbagai pengertian mengenai
perencanaan maupun perencanaan pembangunan di atas dapat disimpulkan bahwa
tidak semua perencanaan adalah merupakan perencanaan pembangunan. Suatu
perencanaan disebut sebagai perencanaan pembangunan apabila dipenuhi berbagai
ciri-ciri tertentu serta adanya tujuan yang bersifat pembangunan. Ciri suatu
perencanaan pembangunan (agent of development) oleh karena perencanaan
pembangunan sendiri merupakan bagian dari administrasi pembangunan yang menjadi
bagian kewenangan pemerintah.
Bahwa Perencanaan Pembangunan Daerah memerlukan
Koordinasi dari semua unsur yang terlibat dalam rangka menghasilkan sebuah
program dan kegiatan yang holistik dan komprehensif, Selain itu Perencanaan
Pembangunan Daerah harus mampu menentukan prioritas program dan kegiatan
berdasarkan fakta dan data dari potensi daerahnya, serta harus mempunyai
sumberdaya yang mempunyai kemampuan yang baik secara interdisipliner, sehingga
koordinasi sekali lagi sangat diperlukan dalam pembuatan sebuah perencanaan
pembangunan yang terintegrasi, tersinkronisasi, dan menyeluruh.
II.
Implementasi
Pembangunan daerah merupakan usaha untuk
meningkatkan kualitas dan perikehidupan manusia dan masyarakat daerah yang
dilakukan secara terus menerus berdasarkan kemampuan daerah dan kemampuan
nasional dengan memanfaatkan kemajuan Iptek serta memperhatikan perkembangan
keadaan daerah. Prinsip penyelenggaraan pembangunan daerah adalah bahwa setiap
pembangunan dilaksanakan berdasarkan asas pemerataan dan keadilan untuk
mencapai pertumbuhan ekonomi daerah dan kesejahteraan masyarakat secara sosial
ekonomi. Salah satu tujuan utama pembangunan daerah adalah meningkatkan keadaan
ekonomi daerah sehingga mandiri dan mampu menyelenggarakan pemerintahan dan
pembangunan daerah, serta untuk mencapai kesejahteraan sosial secara adil dan
merata. Proses pelaksanaan pembangunan daerah melibatkan pemerintah daerah,
badan hukum swasta, dan masyarakat sebagai pelaku pembangunan daerah.
Aktivitas pembangunan daerah yang diarahkan pada
penguatan pembangunan sosial ekonomi masyarakat merupakan basis dari
peningkatan kesejahteraan masyarakat. Apabila di suatu daerah atau wilayah
terdapat aktivitas ekonomi maka secara logis akan terjadi akumulasi pendapatan
dan kesejahteraan. Manakala setiap potensi dan aset yang ada dapat mencapai
kemanfaatan dan berkesinambungan, maka dapat dijamin adanya perkembangan
ekonomi di kawasan tersebut. Untuk itu pada gilirannya peluang untuk menghimpun
dana dari masyarakat dalam jumlah yang makin besar sehingga dapat meningkatkan
kemandirian pembangunan daerah (Nugroho, 2003).
Terselenggaranya berbagai program pembangunan daerah
merupakan parameter kesuksesan pemimpin pemerintahan daerah karena tanggung
jawab pemerintah daerah diukur antara lain dari kemampuannya melaksanakan
program-program pembangunan daerah di daerahnya. Studi implementasi sebagai
orientasi baru dalam pendekatan administrasi pembangunan mulai berkembang pada
awal tahun 1980-an, sejalan dengan munculnya kesadaran akan pentingnya proses
implementasi yang dapat menjamin keberhasilan pelaksanaan program pembangunan
terutama di negaranegara berkembang (Grindle,1980).
Dalam implementasi program masalah konsistensi dan
efektivitas adalah sangat penting. Berbagai faktor muatan program maupun
konteks implementasi yang secara prinsipil mempengaruhi hasil dan dampak dari
implementasi program itu sendiri (Edwards, 1984).
Setidaknya, di tingkat daerah masalah
penyelenggaraan pembangunan daerah memperoleh perhatian yang serius sejak awal
tahun 1990-an yaitu setelah diterbitkannya Permendagri Nomor 9 Tahun 1992.
Dengan kebijakan tersebut terjadi pergeseran prinsip perencanaan pembangunan
daerah dari prinsip sektoral terpusat menjadi prinsip terpadu dan mendaerah.
Tuntutan untuk mengintegrasikan kepentingan pembangunan daerah dengan
pembangunan nasional dipicu oleh berbagai fakta bahwa pendekatan pembangunan
yang sentralistik dan dikelola melalui mekanisme arahan pusat yang ketat
ternyata lebih banyak mengesampingkan aspirasi daerah. Selain itu, adanya
tuntutan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan
pembangunan, khususnya pembangunan daerah sebagai bagian integral dari
pembangunan nasional. Demikian pula respons terhadap tingginya tingkat
urbanisasi dan pertumbuhan penduduk perkotaan (Sidabutar, 1998). Dengan tingkat
urbanisasi tercermin dari persentase jumlah penduduk yang tinggal di daerah
perkotaan. Urbanisasi yang tinggi telah memicu peningkatan pengelolaan
pembangunan perkotaan sebagai bagian dari pembangunan daerah.
III.
Contoh
·
Contoh 1
Pembangunan mempunyai makna suatu perubahan besar yang
meliputi fisik wilayah, pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup
yang didukung oleh perubahan dan penerapan teknologi, perubahan struktur
perekonomian, konsumsi dan sistem tata nilai dalam kehidupan masyarakat.
Kegiatan pembangunan merupakan upaya manusia dalam mendayagunakan sumber daya
alam dan lingkungan serta wilayahnya. (Soetaryono 1998)
Pembangunan wilayah ditujukan untuk mencapai masyarakat adil
dan makmur memiliki tingkat kesejahteraan yang dapat dipertahankan dari waktu
ke waktu. Pembangunan berkelanjtuan merupakan kebijakan pembangunan yang dapat
memenuhi kebutuhan dan aspirasi generasi sekarang maupun masa depan secara
harmonis.
Strategi pengelolaan sumberdaya wilayah dan ruang seharusnya
mempertimbangkan aspek perencanaan, pemanfaatan, penataan dan penertiban,
pemantauan dan pengawasan, pengaturan, pengendalian dan pelestarian.
Pembangunan berkelanjutan di Indonesia dapat diarahkan untuk terjaminnya:
1,
keberlanjutan ekologi (ecological sustainability)
2.
keberlanjutan ekonomi (economical sustainability)
3.
keberlanjutan sumber daya dan lingkungan (resources and environment
sustainability)
4.
keberlanjutan sistem managemen (managemen sustainability)
Pembangunan wilayah ditinjau dari aspek spasial dan sektoral di Indonesai perlu
memperhatikan zona potensi geografis yang merupakan pendekatan spasial ekologikal
untuk menuju kesejahteraan rakyat. Pemecahan masalah pembangunan dan upaya
memajukan rakyat dapat dikelompokkan atas 5 (lima) topologi wilayah pembangunan
geografis yaitu:
- Wilayah dengan sumberdaya alam
melimpah (kaya) dan sumberdaya manusia yang banyak seperti Pulau Jawa dan
Bali.
- Wilayah dengan sumberdaya alam
melimpah dan sumberdaya manusia seidkiy seperti Pulau Sumatera,
Kalimantan, Irian Jaya, Sulawesi.
- Wilayah dengan sumberdaya alam
sedikit dan sumberdaya manusia terlalu banyak seperti Jakarta dan kota-kota
besar lainnya.
- Wilayah dengan sumberdaya alam
sedikit dan sumberdaya manusia sedikit seperti Nusa Tenggara dan Maluku.
- Wilayah dengan sumberdaya alam
yang belum diketahui potensinya dan belum ada manusianya seperti
pulau-pulau kecil yang belum dihuni.
Dengan potensi geografis, maka
pembangunan sektoral dapat diarahkan terutama untuk pembangunan di kawasan
tertinggal seperti zona Maluku dan Nusa Tenggara.penglolaan sumberdaya alam dan
lingkungan dapat diarahkan agar resiko kerusakan lingkungan dan bencana alam di
setiap zona tersebut dapat dikendalikan.
Beberapa
langkah strategis di bidang pengelolaan potensi geografis yang perlu
diperhatikan di Indonesia adalah:
- Mengutamakan pengelolaan
sumberdaya yang dapat diperbaharui
- Penghematan dan pelestarian
sumberdaya alam beserta lingkungannya
- Penerapan dan pengembangan
rencana penggunaan lahan dan penataan pembangunan wilayah
- Melindungi sumberdaya alam yang
memberikan manfaat spasial-ekologikal sebagai contoh kawasan lindung,
hutan lindung, cagar alam
- Merehabilitasi berbagai
kerusakan sumberdaya alam dan ekosistem
- Mereklamasi lahan yang rusak
oleh akibat kegiatan manusia dibidang non pertanian seperti pertambangan
- Mengelola sumberdaya alam
berbasis spasial dan berwawasan lingkungan serta kebencanaan alam
- Meningkatkan peran serta
masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya wilayah geografis secara
berkelanjutan
- Menguatkan kelembagaan dan
kerjasama kemitraan dalam pengelolaan potensi geografris untuk ekonomi
masyarakat
- Menerapkan konsep pengelolaan sumberdaya
wilayah terintgrasi atas dasar cirri fisikal, biotis, social-kultular
dengan basis community based development.
- Mempolakan pembangunan
spasial-ekologikal dan sosio kultur di setiap kawasan fungsional.
Apabila kebijakan pembangunan berkelanjutan dan berwawasan
lingkungan di Indonesia diterapkan dengan baik, maka berbagai manfat
pembangunan bagi kesejahteraan terus membaik, pendapatan asli daerah meningkat,
pengelolaan aset pembangunan efektif dan bencana lingkungan maupun kerusakan
alam dapat diminimalisir.
·
Contoh
2
Perencanaan Pembangunan
Berkelanjutan Wilayah Pesisir
Pembangunan di bidang kelautan dan perikanan menjadi
sangat penting, dengan menipisnya sumberdaya alam yang ada di daratan dan
melimpahnya kekayaan sumberdaya pesisir dan laut yang dimiliki Indonesia
merupakan salah satu pertimbangan terjadinya pergeseran paradigma dari negara
terestrial (daratan) ke negara maritim yang terjadi pada pasca reformasi.
Sehingga perlukan perubahan yang mengacu pada pembangunan yang tidak hanya
semata-mata mengejar pertumbuhan ekonomi namun dapat menghasilkan pertumbuhan
ekonomi, kesejahteraan para pelaku pembangunan secara adil dan terpeliharanya
daya dukung dan kualitas lingkungan secara seimbang untuk menuju pembangunan
yang berkelanjutan untukanak cucu kita. Untuk itu perlunya suatu sistem
pembangunan yang memuat 3 (tiga) dimensi pembangunan ekonomi sosial dan
pembangunan lingkungan secara sekaligus.
Melestarikan ekosistim esensial bagi keberlanjutan
kehidupan manusia dan makhluk alam. Dalam ekonomi, peranan pasar sangat dominan
dalam mempertemukan permintaan konsumen dengan penawaran produsen, tetapi pasar
belum mampu menanggulangi masalah sosial dan lingkungan. Berdasarkan hal
tersebut, maka penulis tertarik meneliti tentang bagaimana penjelasan ilmiah
kondisi eksisting mengapa kehidupan nelayan tidak berkembang dan bagaimana
perencanaan pembangunan yang berkelanjutan di wilayah pesisir.
·
Contoh
3
Analisis Perencanaan
Pembangunan Tahunan Daerah
Faktor penting dalam perencanaan pembangunan daerah
adalah desentralisasi. Desentralisasi merupakan penyerahan kewenangan
pemerintahan dari pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk menetapkan
kebijakan (kewenangan politik) dan melaksanakan kebijakan (kewenangan
administrasi), berdasarkan local voice dan local choice. Penyerahan kewenangan
tersebut berimplikasi pada perencanaan pembangunan di daerah. Daerah diharapkan
mampu untuk mengidentifikasikan kebutuhannya sendiri, merumuskan tujuan
pembangunan sendiri, serta membuat strategi yang tepat untuk mencapai
tujuannya. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan partisipasi
stakeholders dalam perencanaan pembangunan dan untuk mendeskripsikan kualitas
perencanaan pembangunan di Kota Magelang khususnya pada tahun 2007.
IV.
Saran
Agar dapat meningkatkan partisipasi dalam
perencanaan pembangunan perlu dilakukan upaya-upaya nyata yaitu :
ü Sebelum
masyarakat menyampaikan usulannya hendaknya dibekali terlebih dahulu dengan
informasi tentang isu strategis, arah kebijakan, prioritas pembangunan,
kemampuan anggaran, program/kegiatan SKPD yang bersifat indikatif yang
bermanfaat untuk referensi masyarakat dalam menyampaikan usulan kegiatannya.
ü Untuk meningkatkan kualitas usulan kegiatan
masyarakat hendaknya para pengampu dari birokrasi dapat menjadi fasilitator
perencanaan pembangunan sampai di tingkat Kelurahan.
ü Untuk
membentuk kemitraan yang bersifat linear collaborative partnership, masyarakat
harus diberikan akses pada setiap tahap perencanaan pembangunan serta diberikan
kewenangan yang sama dengan birokrasi terutama dalam pengambilan keputusan.
Masyarakat dilibatkan dalam kepanitiaan musrenbang, penentuan peserta
musrenbang serta pemilihan pimpinan musrenbang.
ü Komitmen
para pejabat politik sangat diperlukan dengan aktif dalam setiap tahap
perencanaan pembangunan serta menghormati hasil perencanaan pembangunan
partisipatif dengan tidak melakukan intervensi yang bersifat operasional.
ü Dalam
perencanaan umum yang senantiasa dibuat oleh stakeholder telah mempertimbangkan
aspek lingkungan maupun ekologi, sehingga diperlukan perubahan yang mengacu
pada pembangunan yang tidak hanya semata-mata mengejar pertumbuhan ekonomi
namun dapat menghasilkan pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan para pelaku
pembangunan secara adil dan terpeliharanya daya dukung dan kualitas lingkungan
secara seimbang untuk menuju pembangunan yang berkelanjutan untuk anak cucu kita.
Untuk itu perlunya suatu system pembangunan yang memuat 3 (tiga) dimensi
pembangunan ekonomi sosial dan pembangunan lingkungan secara sekaligus.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Menurut
Chaprin,perencanaan wilayah (Regional Planning) adalah upaya intervensi
terhadap kekuatan-kekuatan pasar yang dalam konteks pengembangan wilayah yang
memiliki tiga tujuan pokok yakni meminimalkan konflik kepentingan antar
sektor,meningkatkan kemajuan sektoral dan membawa kemajuan bagi masyarakat
secara keseluruhan.
Menurut Conyers & Hills (1994)
mendefinisikan “perencanaan” sebagai ”suatu proses yang bersinambungan”, yang
mencakup “keputusan-keputusan ataupilihan-pilihan berbagai aiternatif
penggunaan sumber daya untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu pada masa yang akan
datang.“ Definisi tersebut mengedepankan 4 unsur dasar perencanaan, yakni
Pemilihan, Sumber daya, Proses penetapan tujuan dan Waktu.
B.
Saran
Agar dapat meningkatkan partisipasi dalam
perencanaan pembangunan perlu dilakukan upaya-upaya nyata yaitu :
ü Sebelum
masyarakat menyampaikan usulannya hendaknya dibekali terlebih dahulu dengan
informasi tentang isu strategis, arah kebijakan, prioritas pembangunan,
kemampuan anggaran, program/kegiatan SKPD yang bersifat indikatif yang
bermanfaat untuk referensi masyarakat dalam menyampaikan usulan kegiatannya.
ü Untuk meningkatkan kualitas usulan kegiatan
masyarakat hendaknya para pengampu dari birokrasi dapat menjadi fasilitator
perencanaan pembangunan sampai di tingkat Kelurahan.
ü Untuk
membentuk kemitraan yang bersifat linear collaborative partnership, masyarakat
harus diberikan akses pada setiap tahap perencanaan pembangunan serta diberikan
kewenangan yang sama dengan birokrasi terutama dalam pengambilan keputusan.
Masyarakat dilibatkan dalam kepanitiaan musrenbang, penentuan peserta
musrenbang serta pemilihan pimpinan musrenbang.
ü Komitmen
para pejabat politik sangat diperlukan dengan aktif dalam setiap tahap
perencanaan pembangunan serta menghormati hasil perencanaan pembangunan
partisipatif dengan tidak melakukan intervensi yang bersifat operasional.
ü Dalam
perencanaan umum yang senantiasa dibuat oleh stakeholder telah mempertimbangkan
aspek lingkungan maupun ekologi, sehingga diperlukan perubahan yang mengacu
pada pembangunan yang tidak hanya semata-mata mengejar pertumbuhan ekonomi
namun dapat menghasilkan pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan para pelaku
pembangunan secara adil dan terpeliharanya daya dukung dan kualitas lingkungan
secara seimbang untuk menuju pembangunan yang berkelanjutan untuk anak cucu kita.
Untuk itu perlunya suatu system pembangunan yang memuat 3 (tiga) dimensi
pembangunan ekonomi sosial dan pembangunan lingkungan secara sekaligus.
DAFTAR PUSTAKA
Nugroho,
R. 2003. Reinventing Pembangunan: Menata Ulang Paradigma Pembangunan Untuk
Membangun Indonesia Baru Dengan Keunggulan Global. Jakarta. Elex Media Komputindo.
Sidabutar,
P. 1998. Konsep Program Pembangunan Prasarana Kota Terpadu, dalam Manajemen
Prasarana Perkotaan. Jakarta. LP3ES.
Sugiyono. 2000.
Statistik Untuk Penelitian. Bandung. Alfabeta.
Todaro, M. 1998.
Ekonomi Pembangunan Untuk Dunia Ketiga. Jakarta. Erlangga