Kamis, 17 November 2016

Tingkat-tingkat dan Perencanaan Pembangunan Wilayah


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah

Pada umumnya suatu tujuan dan sasaran yang diharapkan akan lebih mungkin terwujud apabila sebelumnya sudah ada perencanaan dan persiapan yang matang untuk itu. Hal ini berarti bahwa dengan adanya perencanaan didalam pencapaian suatu tujuan atau sasaran yang diharapkan itu, akan lebih besar kemungkinan untuk memperoleh hasil yang memuaskan dari apa yang diinginkan.

Berdasarkan realitas tersebut diatas maka Perencanaan Pembangunan Daerah harus diselesaikan dengan segenap daya yang ada, baik yang dimiliki oleh pemerintah daerah dalam penyelenggaraan perencanaan pembangunan daerah. Oleh karena itu, Perencanaan Pembangunan sangat penting pemerintahan daerah“Perencanaan” adalah sangat penting dan menentukan sekali dalam melakukan tindakan-tindakan ataupun pekerjaan-pekerjaan supaya hasil dari pekerjaan-pekerjaan itu sesuai dengan apa yang diharapkan.

Perencanaan Pembangunan Menurut W.J.S Poewardarminta, dalam bukunya Kamus Umum Bahasa Indonesia bahwa yang dimaksud dengan “rencana” dalam hal ini dapat diartikan sebagai rancangan (rangka sesuatu yang akan dikerjakan), misalnya rancangan-rancangan yang akan dilaksanakan, rancangan sesuatu usaha (pembangunan dan sebagainya) yang harus diselesaikan dalam jangka waktu tertentu.

Dari pendapat diatas bahwa untuk menyelesaikan rencana pembangunan daerah membutuhkan dasar rancangan. Tanpa adanya rancangan, maka bukan saja tidak mungkin bagi daerah untuk dapat menyelenggarakan pembangunan daerah, tetapi juga harus menyelesaikan rancangan sesuai dengan yang dikerjakan.

Berdasarkan konstelasi diatas menunjukkan bahwa Perencanaan adalah suatu alat atau cara untuk mencapai tujuan dengan lebih baik. Pada hakekatnya mendapatkan alasan yang lebih kuat untuk melakukan perencanaan:

1.Dengan adanya perencanaan diharapkan terdapatnya suatu pengarahan kegiatan, adanya pedoman bagi pelaksanaan kegiatan-kegiatan yang ditujukan kepada pencapaian pembangunan.

2.Dengan perencanaan, maka suatu perkiraan (forecasting) terhadap hal-hal dalam masa pelaksanaan yang akan dilalui. Perkiraan dilakukan mengenai hambatan-hambatan dan resiko-resiko yang mungkin dihadapi, perencanaan mengusahakan supaya ketidakpastian dapat dibatasi sedikit mungkin.

3.Perencanaan memberikan kesempatan untuk memilih berbagai alternative tentang cara yang terbaik (the best alaternative) atau kesempatan untuk memilih kombinasi cara yang terbaik (the best combination).

4.Dengan perencanaan dilakukan penyusunan skala prioritas memilih urutan-urutan dari segi pentingnya suatu tujuan sasaran maupun kegiatan usahanya.

5.Dengan adanya rencana, maka akan ada alat pengukur atau standar untuk mengadakan pengawasan/evaluasi (control/evolution).
           
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka dapat diambil suatu keuntungan dari pada perencanaan itu sendiri dimana dalam perencanaan itu sudah dapat diduga efek yang mungkin terjadi dan apa yang hendak dilaksanakan itu, kemudian akan dapat dicari jalan keluar yang terbaik untuk mengatasi hal tersebut, sehingga kita akan mungkin melakukan ataupun melanjutkan suatu pekerjaan yang memang mempunyai efek yang tidak diinginkan.

Mengingat begitu pentingnya dilakukan perencanaan itu, maka perlu kirannya diberikan beberapa rumusan tentang perencanaan tersebut dimana melalui rumusan itu kita akan dapat memperoleh gambaran ataupun penjelasan arti dan fungsi dari pada perencanaan itu sendiri.
Dalam hubungannya dengan penyelenggaraan perencanaan pembangunan daerah ini, dalam Perkembangannya Perencanaan dalam arti seluas-luasnya, tidak lain adalah suatu proses persiapan secara sistematis kegiatan yang akan dilakukan untuk mencapai suatu tujuan tertentu oleh karena itu pada hakekatnya terdapat pada tiap jenis usaha manusia.39
Dari penjelasan-penjelasan diatas, dapat dilihat sejauh mana arti dan pentingnya serta fungsi perencanaan itu sendiri untuk senantiasa dilaksanakan dalam segala aktifitas-aktifitas kita dalam setiap pekerjaan dan dalam setiap saat.

Dalam melakukan pembangunan, perencanaan yang matang sangat dibutuhkan, karena pembangunan-pembangunan itu bukanlah pekerjaan yang ringan dan biasa saja, melainkan adalah suatu pekerjaan yang cukup berat dan membutuhkan banyak waktu, tenaga maupun biaya. Oleh sebab itu apabila pembangunan tidak dapat dilaksanakan ataupun dilanjutkan, maka jelas akan terdapat kerugian yang besar, baik dari segi materi maupun dari segi tenaga dan waktu, yang dipergunakan dalam melaksanakan pekerjaan tersebut.

Jika dihubungkan dengan Negara Republik Indonesia yang pada saat ini masih tergolong kepada Negara yang sedang membangun ataupun disebut juga negara sedang berkembang (developing country), yang sedang mencurahkan perhatian untuk mengejar ketinggalan-ketinggalan itu dalam jalan melaksanakan pembangunan-pembangunan secara merata diseluruh pelosok tanah air melalui pembangunan dalam segala bidang kehidupan, maka jelaslah bahwa pemerintah harus mempergunakan perencanaan yang matang untuk mewujudkannya.
Pemerintah Republik Indonesia pun menyadari betapa pentingnya perencanaan itu, khususnya dalam melaksanakan pembangunan, untuk itu pemerintah pada tahun 1969 membuat suatu perencanaan pembangunan jangka panjang yang akan dinamakan dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang yang akan dilaksanakan secara bertahap dan berkesinambungan yaitu perencanaan yang dinamakan dengan Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA), dimana perencanaan itu telah dimulai dilaksanakan sejak tahun 1969 yang dibagi-bagi dalam beberapa tahap dalam bentuk Repelita I, II, III, IV, V, yang juga dinamakan Pembangunan Jangka Panjang Tahap Pertama (PJPT I).

Dengan adanya Repelita tersebut, diharapkan Negara Republik Indonesia akan mampu mengejar ketertinggalan dari negara-negara lain yang sudah tergolong maju. Tetapi setelah reformasi lahirlah Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah, lalu diperbaharui oleh dikeluarkannya lagi Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang disertai dengan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Maka sistem Pemerintahan Daerah diberi otoritas daerah yang disebut dengan otonomi seluas-luasnya, dengan asas desentralisasi yang mengacu kepada dekonsentralisasi.

Desentralisasi menurut Undang-undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah pasal 1 (7) adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dekonsentralisasi menurut Undang-undang No. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah pasal 1 (8) adalah pelimpahan wewenang pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu.
Tujuan utama tersebut diatas adalah untuk mewujudkan cita-cita tersebut, perlu diperhatikan hal-hal yang sangat pokok dalam pelaksanaan pembangunan tersebut yaitu perlu adanya perencanaan yang matang supaya tidak terjadi pelaksanaan pembangunan yang sia-sia, karena melalui perencanaan yang matang itu akan dapat ditempuh berbagai cara yang terbaik untuk menjalankan ataupun melaksanakan pembangunan itu sesuai dengan apa yang diharapkan.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan perencanaan pembangunan wilayah?
2.      Bagaimana teori Perencanaan Pembangunan Wilayah ?
3.      Bagaimana implementasi perencanaan Pembangunan Wilayah?
4.      Apa yang dimaksud dengan tingkat-tingkat perencanaan pembangunan wilayah?
5.      Bagaimana teori tingkat-tingkat Perencanaan Pembangunan Wilayah ?
6.      Bagaimana implementasi tingkat-tingkat perencanaan Pembangunan Wilayah?

C.    Tujuan
1.      Mengetahui perencanaan pembangunan wilayah
2.      Mengetahui teori Perencanaan Wilayah
3.      Mengetauhui implementasi perencanaan pembangunan wilayah
4.      Mengetahui tingkat-tingkat perencanaan pembangunan wilayah
5.      Mengetahui teori tingkat-tingkat Perencanaan Pembangunan Wilayah
6.      Mnegetahui implementasi tingkat-tingkat perencanaan Pembangunan Wilayah

BAB II
PEMBAHASAN
I.     Teori
A.    Teori Perencanaan Wilayah
Perencanaan Wilayah adalah suatu proses perencanaan pembangunan yang  dimaksudkan untuk melakukan perubahan menuju arah perkembangan yang lebih  baik bagi suatu komunitas masyarakat, pemerintah, dan lingkungannya dalam  wilayah tertentu, dengan memanfaatkan atau mendayagunakan berbagai sumber  daya yang ada, dan harus memiliki orientasi yang bersifat menyeluruh, lengkap,  tetap berpegang pada azas prioritas (Riyadi dan Bratakusumah, 2003).
            Menurut Chaprin,perencanaan wilayah (Regional Planning) adalah upaya intervensi terhadap kekuatan-kekuatan pasar yang dalam konteks pengembangan wilayah yang memiliki tiga tujuan pokok yakni meminimalkan konflik kepentingan antar sektor,meningkatkan kemajuan sektoral dan membawa kemajuan bagi masyarakat secara keseluruhan.

 Menurut Riyadi dan Bratakusumah (2004 : 7), perencanaan pembangunan dapat diartikan sebagai : Suatu proses perumusan alternatif-alternatif atau keputusan-keputusan yang didasarkan pada data-data dan fakta-fakta yang akan digunakan sebagai bahan untuk melaksanakan suatu rangkaian kegiatan/aktivitas kemasyarakatan, baik yang bersifat fisik (material) maupun nonfisik (mental dan spiritual) dalam rangka mencapai tujuan yang lebih baik”.
Dalam upaya pembangunan wilayah, masalah yang terpenting yang menjadi  perhatian para ahli ekonomi dan perencanaan wilayah adalah menyangkut proses  pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pembangunan. Perbedaan teori pertumbuhan  ekonomi wilayah dan teori pertumbuhan ekonomi nasional terletak pada sifat  keterbukaan dalam proses input-output barang dan jasa maupun orang. Dalam  sistem wilayah keluar masuk orang atau barang dan jasa relatif bersifat lebih  terbuka, sedangkan pada skala nasional bersifat lebih tertutup (Sirojuzilam, 2007).
Perencanaan Wilayah merupakan satu-satunya jalan yang terbuka untuk  menaikkan pendapatan per kapita, mengurangi ketimpangan pendapatan dan  meningkatkan kesempatan kerja (Jhingan, 2000). Perencanaan Pembangunan Daerah  adalah “Suatu usaha yang sistematik dari pelbagai pelaku (aktor), baik umum, publik atau pemerintah, swasta, maupun kelompok masyarakat lainnya pada tingkatan yang  berbeda untuk menghadapi saling ketergantungan dan keterkaitan aspek fisik, sosial,  ekonomi dan aspek lingkungan lainnya dengan cara:
1. secara terus menerus menganalisis kondisi dan pelaksanaan pembangunan daerah;  
2. merumuskan tujuan dan kebijakan pembangunan daerah;
3. menyusun konsep strategi bagi pemecahan masalah (solusi), dan
4. melaksanakannya  dengan menggunakan sumber daya yang tersedia sehingga  peluang baru untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat daerah dapat  ditangkap secara berkelanjutan” (Solihin, D, 2005).
Menurut Archibugi (2008) berdasarkan penerapan teori perencanaan wilayah  dapat dibagi atas empat komponen yaitu :
(a)  Physical Planning (Perencanaan fisik). Perencanan yang perlu dilakukan untuk  merencanakan secara fisik pengembangan wilayah. Muatan perencanaan ini  lebih diarahkan kepada pengaturan tentang bentuk fisik kota dengan jaringan  infrastruktur kota menghubungkan antara beberapa titik simpul aktivitas. Teori  perencanaan ini telah membahas tentang kota dan sub bagian kota secara  komprehensif. Dalam perkembangannya teori ini telah memasukkan kajian  tentang aspek lingkungan. Bentuk produk dari perencanaan ini adalah  perencanaan wilayah yang telah dilakukan oleh pemerintah Kota Medan dalam  bentuk master plan (tata ruang, lokasi tempat tinggal, aglomerasi, dan  penggunaan lahan).
(b)  Macro-Economic Planning (Perencanaan Ekonomi Makro). Dalam perencanaan  ini berkaitan perencanaan ekonomi wilayah. Mengingat ekonomi wilayah  menggunakan teori yang digunakan sama dengan teori ekonomi makro yang  berkaitan dengan pembangunan ekonomi, pertumbuhan ekonomi, pendapatan,  distribusi pendapatan, tenaga kerja, produktivitas, perdagangan, konsumsi dan  investasi. Perencanaan ekonomi makro wilayah adalah dengan membuat  kebijakan ekonomi wilayah guna merangsang pertumbuhan ekonomi wilayah.  Bentuk produk dari perencanaan ini adalah kebijakan bidang aksesibilitas  lembaga keuangan, kesempatan kerja, tabungan).
(c)  Social Planning (Perencanaan Sosial). Perencanaan sosial membahas tentang  pendidikan, kesehatan, integritas sosial, kondisi tempat tinggal dan tempat kerja,  wanita, anak-anak dan masalah kriminal. Perencanaan sosial diarahkan untuk  membuat perencanaan yang menjadi dasar program pembangunan sosial di  daerah. Bentuk produk dari perencanaan ini adalah kebijakan demografis.
(d) Development Planning (Perencanaan Pembangunan). Perencanaan ini berkaitan  dengan perencanaan program pembangunan secara komprehensif guna mencapai pengembangan wilayah.  Fianstein dan Norman (1991) tipologi perencanaan dibagi atas empat macam  yang didasarkan pada pemikiran teoritis. Empat macam perencanaan tersebut dapat  dijelaskan sebagai berikut:
a) Traditional planning (perencanaan tradisional). Pada jenis perencanaan ini  perencana menetapkan maksud dan tujuan untuk merubah sebuah sistem kota yang  telah rusak. Biasanya pada konsep perencanaan ini membuat kebijakan-kebijakan  untuk melakukan perbaikan pada sistem kota. Pada perencanaan tradisional  memiliki program inovatif terhadap perbaikan lingkungan perkotaan dengan  menggunakan standar dan metode yang professional.
b) User-Oriented Planning (Perencanaan yang berorientasi pada pengguna). Konsep  perencanaan ini adalah membuat perencanaan yang bertujuan untuk  mengakomodasi pengguna dari produk perencaan tersebut, dalam hal ini  masyarakat Kota. Masyarakat yang menentukan produk perencanaan harus  dilibatkan dalam setiap proses perencanaan.
c) Advocacy Planning (Perencanaan Advokasi). Pada perencanaan ini berisikan  program pembelaan terhadap masyarakat yang termarjinalkan dalam proses  pembangunan kota dalam hal ini adalah masyarakat miskin kota. Pada  perencanaan advokasi akan memberikan perhatian khusus terhadap melalui  program khusus guna meningkatkan taraf hidup masyarakat miskin.
d) Incremental Planning (Perencanaan dukungan). Pada perencanaan yang bersifat  dukungan terhadap sebuah proses pengambilan keputusan terhadap permasalahanpermasalahan  perkotaan. Produk perencanaan ini bersifat analisis yang mendalam  terhadap permasalahan dengan mempertimbangkan dampak positif dan dampak  negatif sebuah kebijakan.

Menurut Glasson dalam buku Tarigan (2005) menyebutkan tipe-tipe  perencanaan terdiri dari; physical planning and economic planning, allocative and  innovative planning, multi or single objective planning dan indicative or imperative  planning. Selanjutnya menurut Tarigan (2005) di Indonesia juga dikenal jenis top- down and bottom-up planning, vertical and horizontal planning, dan perencanaan  yang melibatkan masyarakat secara langsung dan yang tidak melibatkan masyarakat  sama sekali. Uraian di atas masing-masing jenis itu dikemukakan sebagai berikut:
1. Perencanaan Fisik Versus Perencanan Ekonomi. Pada dasarnya pembedaan ini didasarkan atas isi atau master dari perencanaan. Namun demikian, orang awam terkadang tidak bisa melihat perbedaan antara perencanaan fisik dengan perencanaan ekonomi. Perencanaan fisik (physical planning) adalah perencanaan untuk mengubah atau memanfaatkan struktur fisik suatu wilayah misalnya perencanaan tata ruang atau tata guna, perencanaan jalur transportasi/komunikasi, penyediaan fasilitas untuk umum, dan lain-lain. Perencanaan ekonomi (economic planning) berkenaan dengan perubahan struktur ekonomi suatu wilayah dan langkah-langkah untuk memperbaiki tingkat kemakmuran suatu wilayah.
Perencanaan ekonomi didasarkan atas mekanisme pasar daripada perencanaan fisik yang lebih didasarkan atas kelayakan teknis. Perlu dicatat bahwa apabila perencanaan itu bersifat terpadu, perencanaan fisik berfungsi untuk mewujudkan berbagai sasaran yang ditetapkan di dalam perencanaan ekonomi. Akan tetapi, ada juga keadaan di mana hasil perencanan fisik harus dipertimbangkan perencanaan ekonomi, misalnya dalam hal tata ruang.
2. Perencanaan Alokatif Versus Perencanaan Inovatif. Pembedaan ini didasarkan atas perbedaan visi dari perencanaan tersebut, yaitu antara perencanaan model alokatif dan perencanaan yang bersifat inovatif. Perencanaan alokatif (alocative planning) berkenaan dengan menyukseskan rencana umum yang telah disusun pada level yang lebih tinggi atau telah menjadi kesepakatan bersama. Jadi, inti kegiatannya berupa koordinasi dan sinkronisasi agar sistem kerja untuk mencapai tujuan itu dapat berjalan secara efektif dan efesien sepanjang waktu. Karena sifatnya, model perencanaan ini kadang-kadang disebut regulatory planning (mengatur pelaksanaan ). Dalam perencanaan inovatif (innovative planning), para perencana lebih memiliki kebebasan, baik dalam menetapkan target maupun cara yang ditempuh untuk mencapai target tersebut. Artinya, mereka dapat menetapkan prosedur atau cara-cara, yang penting target itu dapat dicapai atau dilampaui. Perencanaan inovatif juga berlaku apabila ada kegiatan baru yang perlu dibuat prosedur atau sistem kerjanya, yang selama ini belum ada.
3. Perencanaan Bertujuan Jamak versus Perencanaan Bertujuan Tunggal. Pembedaan ini didasarkan atas luas pandang (skop) yang tercakup, yaitu antara perencanaan bertujuan jamak dan perencanaan tunggal. Perencanaan dapat mempunyai dan sasaran tunggal atau jamak. Perencanaan bertujuan tunggal apabila sasaran yang hendak dicapai adalah sesuatu yang dinyatakan dengan tegas dalam perencanaan itu dan bersifat tunggal. Misalnya, rencana pemerintah untuk membangun 100 unit rumah di suatu lokasi tertentu. Perencanaan bertujuan ini tidak mengaitkan pembangunan rumah dengan manfaat lain yang mungkin ditimbulkannya karena tidak menjadi fokus perhatian utama. Perencanaan bertujuan jamak adalah perencanaan yang memiliki beberapa tujuan sekaligus. Misalnya, rencana pelebaran dan peningkatkan kualitas jalan penghubung yang ditujukan untuk memberikan berbagai manfaat sekaligus, yaitu agar perhubungan di daerah semakin lancar, dapat menarik berdirinya permukiman baru dan mendorong bertambahnya aktivitas pasar di daerah tersebut. Terkadang ada juga sasaran lain dengan dibukanya jalan baru yang bisa saja tidak dinyatakan secara tegas dalam rencana itu sendiri. Misalnya, makin lancarnya komunikasi sehingga masyarakat setempat makin terbuka untuk pembaruan dan makin lancarnya perdagangan. Perencanaan ekonomi umumnya bertujuan jamak sedangkan perencanaan fisik ada yang bertujuan tunggal tetapi ada juga yang bertujuan jamak.
4. Perencanaan Bertujuan Jelas Versus Perencanaan Bertujuan Laten. Pembedaan ini didasarkan atas konkret atau tidak konkretnya isi rencana tersebut. Perencanaan bertujuan jelas adalah perencanaan yang dengan tegas menyebutkan tujuan dan sasaran dari perencanaan tersebut, yang sasarannya dapat diukur keberhasilannya. Dalam perencanaan, tujuan selalu dibuat lebih bersifat umum dibandingkan dengan sasaran. Tujuan belum tentu dapat diukur walaupun bisa dirasakan, sedangkan sasaran biasanya dinyatakan dalam angka konkret sehingga bisa diukur dengan tingkat pencapaiannya. Misalnya, tujuan perencanaan adalah menaikkan taraf hidup rakyat, sasarannya adalah menaikkan pendapatan per kapita dari $ 400 menjadi $ 500 per tahun, dalam jangka waktu tiga tahun yang akan datang. Perencanaan bertujuan laten adalah perencanaan yang tidak menyebutkan sasaran dan bahkan tujuannya pun kurang jelas sehingga sulit untuk dijabarkan. Tujuan perencanaan laten sering dikejar secara tidak sadar, misalnya ingin hidup lebih bahagia, kehidupan dalam masyarakat yang aman, nyaman, dan penuh dengan rasa kekeluargaan.
5. Perencanaan Indikatif Versus Perencanaan Imperatif. Pembedaan ini didasarkan atas ketegasan dari isi perencanaan dan tingkat kewenangan dari institusi pelaksana. Perencanaan indikatif adalah perencanaan di mana tujuan yang hendak dicapai hanya dinyatakan dalam bentuk indikasi, artinya tidak dipatok dengan tegas. Tujuan bisa juga dinyatakan dalam bentuk indikator tertentu, namun indikator ini sendiri bisa konkret dan bisa hanya perkiraan (indikasi). Tidak diatur bagaimana cara untuk mencapai tujuan tersebut. Tidak diatur prosedur ataupun langkah-langkah untuk mencapai tujuan tersebut, yang penting indikator yang dicantumkan dapat tercapai. Dalam perencanaan itu mungkin terdapat petunjuk atau pedoman, yaitu semacam nasehat bagaimana sebaiknya rencana itu dijalankan, tetapi pedoman itu sendiri tidak terlalu mengikat. Pelaksana di lapangan masih dapat melakukan perubahan sepanjang tujuan ingin dicapai dapat dicapai atau dilampaui dengan besaran biaya tidak melampaui yang ditentukan. Perencana imperatif adalah perencanaan yang mengatur baik sasaran, prosedur, pelaksana, waktu pelaksanaan, bahan-bahan, serta alat-alat yang dapat dipakai untuk menjalankan rencana tersebut. Itulah sebabnya mengapa perencanaan ini disebut perencanaan komando. Pelaksana di lapangan tidak berhak mengubah apa yang tertera dalam rencana. Hampir mirip dengan tipe perencanaan di atas adalah yang menggunakan bentuk kombinasi lain, yaitu induced planning versus imperative planning. Pembedaan dalam kombinasi terakhir ini lebih didasarkan atas kewenangan dari institusi terlibat. Induced planning adalah perencanaan dengan sistem rangsangan. Perencanaan dengan sistem rangsangan, yaitu apabila pemerintah pada level yang lebih tinggi memberi rangsangan kepada pemerintah yang lebih rendah. Hal ini terjadi jika pemerintah pada level yang lebih rendah mau melaksanakan program yang diinginkan oleh pemerintah pada level yang lebih tinggi.
6. Top Down Versus Bottom Up Planning. Pembedaan perencanaan jenis ini didasarkan atas kewenangan dari institusi yang terlibat. Perencanaan model up-down dan bottom-up hanya berlaku apabila terdapat beberapa tingkat atau lapisan pemerintahan atau beberapa jenjang jabatan di perusahaan yang masing-masing tingkatan diberi wewenang untuk melakukan perencanaan. Perencanaan model top-down adalah apabila kewenangan utama dalam perencanaan itu berada pada institusi yang lebih tinggi di mana institusi perencana pada level yang lebih rendah harus menerima rencana atau arahan dari institusi yang lebih tinggi. Rencana dari institusi yang lebih tinggi tersebut harus dijadikan bagian rencana institusi yang lebih rendah. Umumnya terjadi adalah kombinasi antara kedua model tersebut. Akan tetapi dari rencana yang dihasilkan oleh kedua level institusi perencanaan tersebut, dapat ditentukan model mana yang lebih dominan. Apabila yang dominan adalah top-down maka perencanaan itu disebut sentralistik, sedangkan apabila yang dominan adalah bottom-up maka perencanaan itu disebut desentralistik.
7. Vertical Versus Horizontal Planning. Pembedaan ini juga didasarkan atas perbedaan kewenangan antar institusi walaupun lebih ditekankan pada perbedaan jalur koordinasi yang diutamakan perencana. Vertical planning adalah perencanaan yang lebih mengutamakan koordinasi antar berbagai jenjang pada sektor yang sama. Model ini mengutamakan keberhasilan sektoral, jadi menekankan pentingnya koordinasi antar berbagai jenjang pada instansi yang sama. Tidak diutamakan keterkaitan antar sektor atau apa yang direncanakan oleh sektor lainnya, melainkan lebih melihat kepada kepentingan sektor itu sendiri itu bagaimana hal ini dapat dilaksanakan oleh berbagai jenjang pada instansi yang sama di berbagai daerah secara baik dan terkoordinasi untuk mencapai sasaran sektoral. Horizontal planning menekankan keterkaitan antar berbagai sektor sehingga berbagai sektor itu dapat berkembang secara bersinergi. Horizontal planning melihat pentingnya koordinasi antar berbagai instansi pada level yang sama, ketika masing-masing instansi menangani kegiatan atau sektor yang berbeda. Horizontal planning menekankan keterpaduan program antar berbagai sektor pada level yang sama. Antara kedua model perencanaan itu harus terdapat arus bolak-balik sehingga dihasilkan rencana yang baik.
8. Perencanaan yang melibatkan masyarakat secara langsung Versus yang tidak melibatkan masyarakat. Pembedaan ini juga didasarkan atas kewenangan yang diberikan kepada institusi perencanaan yang sering kali terkait dengan luas bidang yang direncanakan. Perencanaan yang melibatkan masyarakat secara langsung adalah apabila sejak awal masyarakat telah diberitahu dan diajak ikut serta dalam menyusun rencana tersebut. Perencanaan yang tidak melibatkan masyarakat adalah apabila masyarakat tidak dilibatkan sama sekali dan paling-paling hanya dimintakan persetujuan dari DPRD untuk persetujuan akhir. Perencanaan yang tidak melibatkan masyarakat misalnya apabila perencanaan itu bersifat teknis pelaksanaan, bersifat internal, menyangkut bidang yang sempit, dan tidak secara langsung bersangkut paut dengan kepentingan orang banyak. Persetujuan DPRD pun umumnya tidak dimintakan untuk perencanaan seperti itu. Perencanaan yang bersangkut paut dengan kepentingan orang banyak mestinya melibatkan masyarakat tetapi dalam prakteknya masyarakat hanya diwakili oleh orang-orang yang dikategorikan sebagai tokoh masyarakat. Dalam praktik, kedua pembagian di atas tidaklah mutlak. Artinya, perencanaan sering mengambil bentuk diantara keduanya. Perencanaan yang melibatkan masyarakat luas hanya mungkin untuk wilayah yang kecil, misalnya lingkungan, desa atau kelurahan, dan kecamatan. Untuk wilayah yang lebih luas, biasanya hanya mungkin dengan cara mengundang tokoh-tokoh masyarakat atau pimpinan organisasi kemasyarakatan. Seringkali tokoh masyarakat atau organisasi kemasyarakatan hanya dilibatkan pada diskusi awal untuk memberikan masukan dan pada diskusi akhir untuk melihat bahwa aspirasi mereka sudah tertampung. Perencanaan yang menyangkut kepentingan masyarakat banyak biasanya harus mendapat persetujuan DPRD sebagai perwakilan dari kepentingan masyarakat.
B.     Sistem Perencanaan Pembangunan Wilayah
Perencanaan pembangunan ekonomi daerah dianggap sebagai perencanaan untuk memperbaiki penggunaan sumber daya yang ada. Perencanaan adalah suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumber daya yang tersedia. Pembangunan daerah adalah pemanfaatan sumber daya yang dimiliki untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat yang nyata, baik aspek pendapatan, kesempatan kerja, lapangan berusaha, akses terhadap pengambilankebijakan, berdaya saing maupun peningkatan indeks manusia (Kuncoro, 2005).
Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional tahun 2004 dikeluarkan pemerintah untuk memperbaiki berbagai kelemahan perencanaan pembangunan yang dirasakan dimasa lalu. Sasaran perbaikan yang diharapkan antara lain adalah mewujudkan keterpaduan dan sinergi pembangunan antar dinas dan instansi dan antar daerah, keterpaduan antara perencanaan dan penganggaran serta untuk lebih mengoptimalkan pemanfaatan partisipasi masyarakat dalam penyusunan perencanaan.
Rencana pembangunan menurut Undang-Undang Nomor 25 tahun 2004 terdiri dari:
1. RPJP
2. RPJM
3. RKP
Ø  RPJP (Rencana Pembangunan Jangka Panjang)
Koordinasi pembangunan jangka panjang secara nasional dilakukan melalui penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), baik untuk pemerintah, pemerintah propinsi maupun pemerintah kabupaten/kota untuk periode 20 tahun. RPJP-Nasional, propinsi maupun kabupaten/kota berisikan visi, misi dan arah pembangunan secara nasional yang merupakan penjabaran dari tujuan terbentuknya pemerintahan Negara Indonesia yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. RPJP ini selanjutnya dijadikan landasan utama penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM untuk periode 5 tahun).
·         RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah)
RPJM memuat strategi pembangunan, kebijakan umum, program kementerian/lembaga/SKPD, program kewilayahan serta kerangka ekonomi makro yang mencakup gambaran perekonomian nasional/daerah secara menyeluruh, termasuk kebijakan fiskal dan kerangka pendanaan. RPJM tersebut selanjutnya dijadikan dasar utama untuk penyusunan Rencana Tahunan (Annual Planning) yang bersifat operasional sesuai dengan kemampuan dana pada tahun yang bersangkutan. Bahkan rencana tahunan yang harus dibuat tersebut telah menggunakan istilah lain yaitu Rencana Kerja Pemerintah (RKP) pada tingkat nasional atau RKPD untuk tingkat daerah yang mengisyaratkan bahwa rencana tahunan tersebutlah yang menjadi rencana kerja pemerintah untuk tahun yang bersangkutan. RKPD/RKP tersebut berisikan prioritas pembangunan, rancangan kerangka ekonomi makro, program kementerian/lembaga, program kewilayahan dan kerangka pendanaan yang bersifat indikatif.
Dengan mempedomani rancangan RPJP Daerah yang telah selesai disusun, Pemerintah Daerah diwajibkan pula menyusun RPJM Daerah yang berisikan arah dan strategi kebijakan pembangunan daerah dan program kerja satuan perangkat daerah, baik yang bersifat lintas sektoral maupun lintas wilayah. Termasuk dalam RPJM Daerah ini adalah rencana kerja dan kerangka regulasi dan pendanaan yang bersifat indikatif. Agar perencanaan menjadi lebih kongkrit, maka target-target yang ditetapkan perlu diusahakan secara kuantitatif, walaupun disadari hal ini tidak dapat dilakukan untuk semua sektor. Target yang bersifat kuantitatif tersebut nantinya juga sangat diperlukan pada waktu melakukan monitoring dan evaluasi terhadap keberhasilan terhadap pelaksanaan program. Rancangan RPJM-Daerah yang telah selesai selanjutnya dijadikan dasar menyusun Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) yang merupakan rencana tahunan (Annual Planning) bersifat operasional. RKPD pada dasarnya merupakan jabaran dari RPJM Daerah yang berisikan rencana kerja pembangunan daerah, prioritas, dan program pembangunan daerah, berikut pendanaannya, baik yang dilaksanakan secara langsung maupun tidak langsung oleh pemerintah daerah untuk tahun yang bersangkutan (Gani, J.Y, 2005).
·         RKP (Rencana Kerja Pemerintah)
Peranan RKP demikian penting karena dokumen perencanaan ini adalah  memadukan perencanaan pembangunan jangka menengah yang kurang operasional dengan perencanaan anggaran yang sangat operasional sesuai dengan kemampuan dana pada tahun yang bersangkutan. Dengan adanya RKP/D tersebut maka akan terdapat keterpaduan antara perencanaan, program dan pendanaan sesuai dengan prinsip Ilmu Perencanaan yaitu Planning, Programming and Budgetting System (PPBS).
C.    Teori Pembangunan Wilayah
Dalam banyak kepustakaan tentang pembangunan, terdapat beberapa  pendekatan dan teori. Menyebut beberapa diantaranya adalah growth theory, rural  development theory, agro first theory, basic needs theory, dan lain sebagainya. Teori- teori pembangunan itu memuat berbagai pendekatan ilmu sosial yang berusaha  menangani masalah keterbelakangan. Teori pembangunan benar-benar lepasa landas  hanya setelah diketahui bahwa persoalan pembangunan di Dunia Ketiga bersifat  khusus dan secara kualitatif berbeda dari “transisi orisinil”. Sepanjang evolusinya, teori pembangunan menjadi semakin kompleks dan nondisipliner. Dengan demikian, tidak akan ada definisi baku dan final mengenai pembangunan, yang ada hanyalah usulan mengenai apa yang seharusnya diimplikasikan oleh pembangunan dalam konteks tertentu (Hettne, 2001).
Salah satu teori pembangunan wilayah adalah pertumbuhan tak berimbang (unbalanced growth) yang dikembangkan oleh Hirscham dan Myrdal. Pengembangan wilayah merupakan proses perumusan dan pengimplementasian tujuan-tujuan pembangunan dalam skala supra urban. Pembangunan wilayah pada dasarnya dilakukan dengan menggunakan sumber daya alam secara optimal melalui pengembangan ekonomi lokal, yaitu berdasarkan kepada kegiatan ekonomi dasar yang terjadi pada suatu wilayah. Teori pertumbuhan tak berimbang memandang bahwa suatu wilayah tidak dapat berkembang bila ada keseimbangan, sehingga harus terjadi ketidakseimbangan. Penanaman investasi tidak mungkin dilakukan pada setiap sektor di suatu wilayah secara merata, tetapi harus dilakukan pada sektor-sektor unggulan yang diharapkan dapat menarik kemajuan sektor lainnya. Sektor yang diunggulkan tersebut dinamakan
sebagai leading sektor. Sesungguhnya teori pembangunan terkait erat dengan strategi pembangunan, yakni perubahan struktur ekonomi dan pranata sosial yang diupayakan untuk menemukan solusi yang konsisten dan langgeng bagi persoalan yang dihadapi para Pxsa uncul berbagai pendekatan menyangkut tema-tema kajian tentang pembangunan. Satu diantaranya adalah mengenai isu pembangunan wilayah. Secara luas, pembangunan wilayah diartikan sebagai suatu upaya merumuskan dan mengaplikasikan kerangka teori ke dalam kebijakan ekonomi dan program pembangunan yang di dalamnya mempertimbangkan aspek wilayah dengan mengintegrasikan aspek sosial dan lingkungan menuju tercapainya kesejahteraan yang optimal dan berkelanjutan (Nugroho dan Dahuri, 2004).
Perencanaan pembangunan wilayah semakin relevan dalam mengimplementasikan kebijakan ekonomi dalam aspek kewilayahan. Hoover dan Giarratani (dalam Nugroho dan Dahuri, 2004), menyimpulkan tiga pilar penting dalam proses pembangunan wilayah, yaitu:
1. Keunggulan komparatif (imperfect mobility of factor). Pilar ini berhubungan dengan keadaan dtemukannya sumber-sumber daya tertentu yang secara fisik relatif sulit atau memiliki hambatan untuk digerakkan antar wilayah. Hal ini disebabkan adanya faktor-faktor lokal (bersifat khas atau endemik, misalnya iklim dan budaya) yang mengikat mekanisme produksi sumber daya tersebut sehingga wilayah memiliki komparatif. Sejauh ini karakteristik tersebut senantiasa berhubungan dengan produksi komoditas dari sumber daya alam, antara lain pertanian, perikanan, pertambangan, kehutanan, dan kelompok usaha sektor primer lainnya.
2. Aglomerasi (imperfect divisibility). Pilar aglomerasi merupakan fenomena eksternal yang berpengaruh terhadap pelaku ekonomi berupa meningkatnya keuntungan ekonomi secara spasial. Hal ini terjadi karena berkurangnya biaya-biaya produksi akibat penurunan jarak dalam pengangkutan bahan baku dan distribusi produk.
3. Biaya transpor (imperfect mobility of good and service). Pilar ini adalah yang paling kasat mata mempengaruhi aktivitas perekonomian. Implikasinya adalah biaya yang terkait dengan jarak dan lokasi tidak dapat lagi diabaikan dalam proses produksi dan pembangunan wilayah.



Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan wilayah antara lain dipengaruhi oleh aspek-aspek keputusan lokasional, terbentuknya sistem perkotaan, dan mekanisme aglomerasi. Istilah pertumbuhan wilayah dan perkembangan wilayah sesungguhnya tidak bermakna sama. Pertumbuhan dan perkembangan wilayah merupakan suatu proses kontiniu hasil dari berbagai pengambilan keputusan di dalam ataupun yang mempengaruhi suatu wilayah.
Perkembangan wilayah senantiasa disertai oleh adanya perubahan struktural. Wilayah tumbuh dan berkembang dapat didekati melalui teori sektor (sektor theory) dan teori tahapan perkembangan (development stages theory). Teori sektor diadopsi dari Fisher dan Clark yang mengemukakan bahwa berkembangnya wilayah, atau perekonomian nasional, dihubungan dengan transformasi struktur ekonomi dalam tiga sektor utama, yakni sektor primer (pertanian, kehutanan dan perikanan), serta sektor tertier (perdagangan, transportasi, keuangan dan jasa). Perkembangan ini ditandai oleh penggunaan sumber daya dan manfaatnya, yang menurun di sektor primer, meningkat di sektor tertier, dan meningkat hingga pada suatu tingkat tertentu di sektor sekunder.
Sedangkan teori tahapan perkembangan dikemukakan oleh para pakar seperti Rostow, Fisher, Hoover, Thompson dan lain-lain. Teori ini dianggap lebih mengadopsi unsur spasial dan sekaligus menjembatani kelemahanan teori sektor. Pertumbuhan dan perkembangan wilayah dapat digambarkan melalui lima tahapan.
1. Wilayah dicirikan oleh adanya industri yang dominan. Pertumbuhan wilayah sangat bergantung pada produk yang dihasilkan oleh industri tersebut, antara lain minyak, hasil perkebunan dan pertanian, dan produk-produk primer lainnya. Industri demikian dimiliki oleh banyak negara dalam awal pertumbuhannya.
2. Tahapan ekspor kompleks. Tahapan ini menggambarkan bahwa wilayah telah mampu mengekpsor selain komoditas dominan juga komoditas kaitannya. Misalnya, komoditas dominan yang diekspor sebelumnya adalah minyak bumi mentah, maka dalam tahapan kedua wilayah juga mengekspor industri (metode) teknologi penambangan (kaitan ke belakang) dan produk-produk turunan dari minyak bumi (kaitan ke depan) misalnya premium, solar dan bahan baku plastik.
3. Tahapan kematangan ekonomi. Tahapan ketiga ini menunjukkan bahwa aktivitas ekonomi wilayah telah terdiversifikasi dengan munculnya industri substitusi impor, yakni industri yang memproduksi barang dan jasa yang sebelumnya harus diimpor dari luar wilayah. Tahapan ketiga ini juga memberikan tanda kemandirian wilayah dibandingkan wilayah lainnya.
4. Tahapan pembentukan metropolis (regional metropolis). Tahapan ini memperlihatkan bahwa wilayah telah menjadi pusat kegiatan ekonomi untuk mempengaruhi dan melayani kebutuhan barang dan jasa wilayah pinggiran. Dalam tahapan ini pengertian wilayah fungsional dapat diartikan bahwa aktivitas ekonomi wilayah lokal berfungsi sebagai pengikat dan pengendali kota-kota lain. Selain itu, volume aktivitas ekonomi ekspor sangat besar yang diiringi dengan kenaikan impor yang sangat signifikan.
5. Tahapan kemajuan teknis dan profesional (technical professional virtuosity). Tahapan ini memperlihatkan bahwa wilayah telah memberikan peran yang sangat nyata terhadap perekonomian nasional. Dalam wilayah berkembang produk dan proses-proses produksi yang relatif canggih, baru, efisien dan terspesialisasi. Aktivitas ekonomi telah mengandalkan inovasi, modifikasi, dan imitasi yang mengarah kepada pemenuhan kepuasan individual dibanding kepentingan masyarakat. Sistem ekonomi wilayah menjadi kompleks (economic reciproating system), mengaitkan satu aktivitas dengan aktivitas ekonomi lainnya (Nugroho dan Dahuri, 2004).
Dalam kerangka pengembangan wilayah, perlu dibatasi pengertian “wilayah” yakni ruang permukaan bumi dimana manusia dan makhluk lainnya dapat hidup dan beraktivitas. Menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, wilayah diartikan sebagai kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional. Dalam kerangka pembangunan nasional, perencanaan pengembangan wilayah dimaksudkan untuk memperkecil perbedaan pertumbuhan kemakmuran antar wilayah atau antar daerah. Di samping itu, diusahakan untuk memperkecil perbedaan kemakmuran antara perkotaan dan pedesaan (Jayadinata, 1999).
Ciri-ciri pembangunan daerah menurut Riyadi, Deddy Supriady Bratakusumah (2004 ; 9) meliputi hal-hal sebagai berikut :
1.      Menghasilkan program-program yang bersifat umum.
2. Analisis perencanaan bersifat makro/luas
3. lebih efektif dan efisien digunakan untuk perencanaan jangka menengah dan panjang.

4. memerlukan pengetahuan secara interdisipliner, general dan universal, namun tetap memiliki spesifikasi masing-masing yang jelas.
5. fleksibel dan mudah untuk dijadikan sebagai acuan perencanaan pembangunan jangka pendek (1 tahunan).
Dengan melihat berbagai pengertian mengenai perencanaan maupun perencanaan pembangunan di atas dapat disimpulkan bahwa tidak semua perencanaan adalah merupakan perencanaan pembangunan. Suatu perencanaan disebut sebagai perencanaan pembangunan apabila dipenuhi berbagai ciri-ciri tertentu serta adanya tujuan yang bersifat pembangunan. Ciri suatu perencanaan pembangunan (agent of development) oleh karena perencanaan pembangunan sendiri merupakan bagian dari administrasi pembangunan yang menjadi bagian kewenangan pemerintah.
Bahwa Perencanaan Pembangunan Daerah memerlukan Koordinasi dari semua unsur yang terlibat dalam rangka menghasilkan sebuah program dan kegiatan yang holistik dan komprehensif, Selain itu Perencanaan Pembangunan Daerah harus mampu menentukan prioritas program dan kegiatan berdasarkan fakta dan data dari potensi daerahnya, serta harus mempunyai sumberdaya yang mempunyai kemampuan yang baik secara interdisipliner, sehingga koordinasi sekali lagi sangat diperlukan dalam pembuatan sebuah perencanaan pembangunan yang terintegrasi, tersinkronisasi, dan menyeluruh.








II.  Implementasi
Pembangunan daerah merupakan usaha untuk meningkatkan kualitas dan perikehidupan manusia dan masyarakat daerah yang dilakukan secara terus menerus berdasarkan kemampuan daerah dan kemampuan nasional dengan memanfaatkan kemajuan Iptek serta memperhatikan perkembangan keadaan daerah. Prinsip penyelenggaraan pembangunan daerah adalah bahwa setiap pembangunan dilaksanakan berdasarkan asas pemerataan dan keadilan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi daerah dan kesejahteraan masyarakat secara sosial ekonomi. Salah satu tujuan utama pembangunan daerah adalah meningkatkan keadaan ekonomi daerah sehingga mandiri dan mampu menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan daerah, serta untuk mencapai kesejahteraan sosial secara adil dan merata. Proses pelaksanaan pembangunan daerah melibatkan pemerintah daerah, badan hukum swasta, dan masyarakat sebagai pelaku pembangunan daerah.
Aktivitas pembangunan daerah yang diarahkan pada penguatan pembangunan sosial ekonomi masyarakat merupakan basis dari peningkatan kesejahteraan masyarakat. Apabila di suatu daerah atau wilayah terdapat aktivitas ekonomi maka secara logis akan terjadi akumulasi pendapatan dan kesejahteraan. Manakala setiap potensi dan aset yang ada dapat mencapai kemanfaatan dan berkesinambungan, maka dapat dijamin adanya perkembangan ekonomi di kawasan tersebut. Untuk itu pada gilirannya peluang untuk menghimpun dana dari masyarakat dalam jumlah yang makin besar sehingga dapat meningkatkan kemandirian pembangunan daerah (Nugroho, 2003).
Terselenggaranya berbagai program pembangunan daerah merupakan parameter kesuksesan pemimpin pemerintahan daerah karena tanggung jawab pemerintah daerah diukur antara lain dari kemampuannya melaksanakan program-program pembangunan daerah di daerahnya. Studi implementasi sebagai orientasi baru dalam pendekatan administrasi pembangunan mulai berkembang pada awal tahun 1980-an, sejalan dengan munculnya kesadaran akan pentingnya proses implementasi yang dapat menjamin keberhasilan pelaksanaan program pembangunan terutama di negaranegara berkembang (Grindle,1980).
Dalam implementasi program masalah konsistensi dan efektivitas adalah sangat penting. Berbagai faktor muatan program maupun konteks implementasi yang secara prinsipil mempengaruhi hasil dan dampak dari implementasi program itu sendiri (Edwards, 1984).

Setidaknya, di tingkat daerah masalah penyelenggaraan pembangunan daerah memperoleh perhatian yang serius sejak awal tahun 1990-an yaitu setelah diterbitkannya Permendagri Nomor 9 Tahun 1992. Dengan kebijakan tersebut terjadi pergeseran prinsip perencanaan pembangunan daerah dari prinsip sektoral terpusat menjadi prinsip terpadu dan mendaerah. Tuntutan untuk mengintegrasikan kepentingan pembangunan daerah dengan pembangunan nasional dipicu oleh berbagai fakta bahwa pendekatan pembangunan yang sentralistik dan dikelola melalui mekanisme arahan pusat yang ketat ternyata lebih banyak mengesampingkan aspirasi daerah. Selain itu, adanya tuntutan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pembangunan, khususnya pembangunan daerah sebagai bagian integral dari pembangunan nasional. Demikian pula respons terhadap tingginya tingkat urbanisasi dan pertumbuhan penduduk perkotaan (Sidabutar, 1998). Dengan tingkat urbanisasi tercermin dari persentase jumlah penduduk yang tinggal di daerah perkotaan. Urbanisasi yang tinggi telah memicu peningkatan pengelolaan pembangunan perkotaan sebagai bagian dari pembangunan daerah.
III.      Contoh
·        Contoh 1
Pembangunan mempunyai makna suatu perubahan besar yang meliputi fisik  wilayah, pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang didukung oleh perubahan dan penerapan teknologi, perubahan struktur perekonomian, konsumsi dan sistem tata nilai dalam kehidupan masyarakat. Kegiatan pembangunan merupakan upaya manusia dalam mendayagunakan sumber daya alam dan lingkungan serta wilayahnya. (Soetaryono 1998)

Pembangunan wilayah ditujukan untuk mencapai masyarakat adil dan makmur memiliki tingkat kesejahteraan yang dapat dipertahankan dari waktu ke waktu. Pembangunan berkelanjtuan merupakan kebijakan pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan dan aspirasi generasi sekarang maupun masa depan secara harmonis.

Strategi pengelolaan sumberdaya wilayah dan ruang seharusnya mempertimbangkan aspek perencanaan, pemanfaatan, penataan dan penertiban, pemantauan dan pengawasan, pengaturan, pengendalian dan pelestarian. Pembangunan berkelanjutan di Indonesia dapat diarahkan untuk terjaminnya:
1, keberlanjutan ekologi (ecological sustainability)
2. keberlanjutan ekonomi (economical sustainability)
3. keberlanjutan sumber daya dan lingkungan (resources and environment sustainability)
4. keberlanjutan sistem managemen (managemen sustainability)
5. keberlanjutan teknologi (technological sustainability)
                Pembangunan wilayah ditinjau dari aspek spasial dan sektoral di Indonesai perlu memperhatikan zona potensi geografis yang merupakan pendekatan spasial ekologikal untuk menuju kesejahteraan rakyat. Pemecahan masalah pembangunan dan upaya memajukan rakyat dapat dikelompokkan atas 5 (lima) topologi wilayah pembangunan geografis yaitu:
  1. Wilayah dengan sumberdaya alam melimpah (kaya) dan sumberdaya manusia yang banyak seperti Pulau Jawa dan Bali.
  2. Wilayah dengan sumberdaya alam melimpah dan sumberdaya manusia seidkiy seperti Pulau Sumatera, Kalimantan, Irian Jaya, Sulawesi.
  3. Wilayah dengan sumberdaya alam sedikit dan sumberdaya manusia terlalu banyak seperti Jakarta dan kota-kota besar lainnya.
  4. Wilayah dengan sumberdaya alam sedikit dan sumberdaya manusia sedikit seperti Nusa Tenggara dan Maluku.
  5. Wilayah dengan sumberdaya alam yang belum diketahui potensinya dan belum ada manusianya seperti pulau-pulau kecil yang belum dihuni.
Dengan potensi geografis, maka pembangunan sektoral dapat diarahkan terutama untuk pembangunan di kawasan tertinggal seperti zona Maluku dan Nusa Tenggara.penglolaan sumberdaya alam dan lingkungan dapat diarahkan agar resiko kerusakan lingkungan dan bencana alam di setiap zona tersebut dapat dikendalikan.
            Beberapa langkah strategis di bidang pengelolaan potensi geografis yang perlu diperhatikan di Indonesia adalah:
  1. Mengutamakan pengelolaan sumberdaya yang dapat diperbaharui
  2. Penghematan dan pelestarian sumberdaya alam beserta lingkungannya
  3. Penerapan dan pengembangan rencana penggunaan lahan dan penataan pembangunan wilayah
  4. Melindungi sumberdaya alam yang memberikan manfaat spasial-ekologikal sebagai contoh kawasan lindung, hutan lindung, cagar alam
  5. Merehabilitasi berbagai kerusakan sumberdaya alam dan ekosistem
  6. Mereklamasi lahan yang rusak oleh akibat kegiatan manusia dibidang non pertanian seperti pertambangan
  7. Mengelola sumberdaya alam berbasis spasial dan berwawasan lingkungan serta kebencanaan alam
  8.  Meningkatkan peran serta masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya wilayah geografis secara berkelanjutan
  9. Menguatkan kelembagaan dan kerjasama kemitraan dalam pengelolaan potensi geografris untuk ekonomi masyarakat
  10. Menerapkan konsep pengelolaan sumberdaya wilayah terintgrasi atas dasar cirri fisikal, biotis, social-kultular dengan basis community based development.
  11. Mempolakan pembangunan spasial-ekologikal dan sosio kultur di setiap kawasan fungsional.
Apabila kebijakan pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan di Indonesia diterapkan dengan baik, maka berbagai manfat pembangunan bagi kesejahteraan terus membaik, pendapatan asli daerah meningkat, pengelolaan aset pembangunan efektif dan bencana lingkungan maupun kerusakan alam dapat diminimalisir.

·      Contoh 2
Perencanaan Pembangunan Berkelanjutan Wilayah Pesisir
Pembangunan di bidang kelautan dan perikanan menjadi sangat penting, dengan menipisnya sumberdaya alam yang ada di daratan dan melimpahnya kekayaan sumberdaya pesisir dan laut yang dimiliki Indonesia merupakan salah satu pertimbangan terjadinya pergeseran paradigma dari negara terestrial (daratan) ke negara maritim yang terjadi pada pasca reformasi. Sehingga perlukan perubahan yang mengacu pada pembangunan yang tidak hanya semata-mata mengejar pertumbuhan ekonomi namun dapat menghasilkan pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan para pelaku pembangunan secara adil dan terpeliharanya daya dukung dan kualitas lingkungan secara seimbang untuk menuju pembangunan yang berkelanjutan untukanak cucu kita. Untuk itu perlunya suatu sistem pembangunan yang memuat 3 (tiga) dimensi pembangunan ekonomi sosial dan pembangunan lingkungan secara sekaligus.
Melestarikan ekosistim esensial bagi keberlanjutan kehidupan manusia dan makhluk alam. Dalam ekonomi, peranan pasar sangat dominan dalam mempertemukan permintaan konsumen dengan penawaran produsen, tetapi pasar belum mampu menanggulangi masalah sosial dan lingkungan. Berdasarkan hal tersebut, maka penulis tertarik meneliti tentang bagaimana penjelasan ilmiah kondisi eksisting mengapa kehidupan nelayan tidak berkembang dan bagaimana perencanaan pembangunan yang berkelanjutan di wilayah pesisir.
·         Contoh 3
Analisis Perencanaan Pembangunan Tahunan Daerah
Faktor penting dalam perencanaan pembangunan daerah adalah desentralisasi. Desentralisasi merupakan penyerahan kewenangan pemerintahan dari pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk menetapkan kebijakan (kewenangan politik) dan melaksanakan kebijakan (kewenangan administrasi), berdasarkan local voice dan local choice. Penyerahan kewenangan tersebut berimplikasi pada perencanaan pembangunan di daerah. Daerah diharapkan mampu untuk mengidentifikasikan kebutuhannya sendiri, merumuskan tujuan pembangunan sendiri, serta membuat strategi yang tepat untuk mencapai tujuannya. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan partisipasi stakeholders dalam perencanaan pembangunan dan untuk mendeskripsikan kualitas perencanaan pembangunan di Kota Magelang khususnya pada tahun 2007.









IV.             Saran
Agar dapat meningkatkan partisipasi dalam perencanaan pembangunan perlu dilakukan upaya-upaya nyata yaitu :
ü  Sebelum masyarakat menyampaikan usulannya hendaknya dibekali terlebih dahulu dengan informasi tentang isu strategis, arah kebijakan, prioritas pembangunan, kemampuan anggaran, program/kegiatan SKPD yang bersifat indikatif yang bermanfaat untuk referensi masyarakat dalam menyampaikan usulan kegiatannya.
ü   Untuk meningkatkan kualitas usulan kegiatan masyarakat hendaknya para pengampu dari birokrasi dapat menjadi fasilitator perencanaan pembangunan sampai di tingkat Kelurahan.
ü  Untuk membentuk kemitraan yang bersifat linear collaborative partnership, masyarakat harus diberikan akses pada setiap tahap perencanaan pembangunan serta diberikan kewenangan yang sama dengan birokrasi terutama dalam pengambilan keputusan. Masyarakat dilibatkan dalam kepanitiaan musrenbang, penentuan peserta musrenbang serta pemilihan pimpinan musrenbang.
ü  Komitmen para pejabat politik sangat diperlukan dengan aktif dalam setiap tahap perencanaan pembangunan serta menghormati hasil perencanaan pembangunan partisipatif dengan tidak melakukan intervensi yang bersifat operasional.
ü  Dalam perencanaan umum yang senantiasa dibuat oleh stakeholder telah mempertimbangkan aspek lingkungan maupun ekologi, sehingga diperlukan perubahan yang mengacu pada pembangunan yang tidak hanya semata-mata mengejar pertumbuhan ekonomi namun dapat menghasilkan pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan para pelaku pembangunan secara adil dan terpeliharanya daya dukung dan kualitas lingkungan secara seimbang untuk menuju pembangunan yang berkelanjutan untuk anak cucu kita. Untuk itu perlunya suatu system pembangunan yang memuat 3 (tiga) dimensi pembangunan ekonomi sosial dan pembangunan lingkungan secara sekaligus.




BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Menurut Chaprin,perencanaan wilayah (Regional Planning) adalah upaya intervensi terhadap kekuatan-kekuatan pasar yang dalam konteks pengembangan wilayah yang memiliki tiga tujuan pokok yakni meminimalkan konflik kepentingan antar sektor,meningkatkan kemajuan sektoral dan membawa kemajuan bagi masyarakat secara keseluruhan.   
Menurut Conyers & Hills (1994) mendefinisikan “perencanaan” sebagai ”suatu proses yang bersinambungan”, yang mencakup “keputusan-keputusan ataupilihan-pilihan berbagai aiternatif penggunaan sumber daya untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu pada masa yang akan datang.“ Definisi tersebut mengedepankan 4 unsur dasar perencanaan, yakni Pemilihan, Sumber daya, Proses penetapan tujuan dan Waktu.
B.     Saran
Agar dapat meningkatkan partisipasi dalam perencanaan pembangunan perlu dilakukan upaya-upaya nyata yaitu :
ü  Sebelum masyarakat menyampaikan usulannya hendaknya dibekali terlebih dahulu dengan informasi tentang isu strategis, arah kebijakan, prioritas pembangunan, kemampuan anggaran, program/kegiatan SKPD yang bersifat indikatif yang bermanfaat untuk referensi masyarakat dalam menyampaikan usulan kegiatannya.
ü   Untuk meningkatkan kualitas usulan kegiatan masyarakat hendaknya para pengampu dari birokrasi dapat menjadi fasilitator perencanaan pembangunan sampai di tingkat Kelurahan.
ü  Untuk membentuk kemitraan yang bersifat linear collaborative partnership, masyarakat harus diberikan akses pada setiap tahap perencanaan pembangunan serta diberikan kewenangan yang sama dengan birokrasi terutama dalam pengambilan keputusan. Masyarakat dilibatkan dalam kepanitiaan musrenbang, penentuan peserta musrenbang serta pemilihan pimpinan musrenbang.
ü  Komitmen para pejabat politik sangat diperlukan dengan aktif dalam setiap tahap perencanaan pembangunan serta menghormati hasil perencanaan pembangunan partisipatif dengan tidak melakukan intervensi yang bersifat operasional.
ü  Dalam perencanaan umum yang senantiasa dibuat oleh stakeholder telah mempertimbangkan aspek lingkungan maupun ekologi, sehingga diperlukan perubahan yang mengacu pada pembangunan yang tidak hanya semata-mata mengejar pertumbuhan ekonomi namun dapat menghasilkan pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan para pelaku pembangunan secara adil dan terpeliharanya daya dukung dan kualitas lingkungan secara seimbang untuk menuju pembangunan yang berkelanjutan untuk anak cucu kita. Untuk itu perlunya suatu system pembangunan yang memuat 3 (tiga) dimensi pembangunan ekonomi sosial dan pembangunan lingkungan secara sekaligus.














DAFTAR PUSTAKA
Nugroho, R. 2003. Reinventing Pembangunan: Menata Ulang Paradigma Pembangunan Untuk Membangun Indonesia Baru Dengan Keunggulan Global. Jakarta. Elex Media Komputindo.
Sidabutar, P. 1998. Konsep Program Pembangunan Prasarana Kota Terpadu, dalam Manajemen Prasarana Perkotaan. Jakarta. LP3ES.
Sugiyono. 2000. Statistik Untuk Penelitian. Bandung. Alfabeta.
Todaro, M. 1998. Ekonomi Pembangunan Untuk Dunia Ketiga. Jakarta. Erlangga